Google
 

It's Show Time!

Kunjungi juga blogku lain sisi ! "sasana negeriku" dekabagink.multiply.com… titiknadirku.blogspot.com

Senin, 31 Maret 2008

Revolusi Pendidikan: Konsep Kedalaman menjadi Prioritas Utama daripada Konsep Keluasan dalam Pembelajaran

Revolusi Pendidikan:
Konsep Kedalaman menjadi Prioritas Utama daripada Konsep Keluasan dalam Pembelajaran

Pendidikan merupakan salah satu indikator yang sangat berpengaruh pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas Pendidikan dan SDM memberikan suatu keselerasan konsep. Semakin baik mutu pendidikan suatu Negara maka akan berpengaruh kepada semakin baik pula kualitas SDM.

Hal inilah yang juga berlaku di Indonesia. Pendidikan di Indonesia memiliki kecenderungan untuk lebih mengutamakan pencapaian konsep keluasan daripada kedalaman lingkup pembelajaran yang diberikan.

Sebagai contoh adalah pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD) kelas 1—3 telah disajikan dengan beragam mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS). Walaupun beberapa mata pelajaran itu bersifat dasar dan sederhana tetapi dengan beragam mata pelajaran bagi anak SD dengan tingkat usia, perkembangan psikologis, dan perkembangan intelektual sedemikian dapat mengkondisikan pencapaian yang kurang optimal. Siswa dituntut untuk menguasai berbagai hal sekaligus. Aspek keluasan dalam pembelajaran memang mampu diraih tetapi dengan konsekuensi aspek kedalaman menjadi samar.

Hal ini sejalan dengan sebuah survey yang pernah dilakukan yang mengatakan bahwa tingkat kecerdasan anak usia SD di Indonesia adalah lebih tinggi daripada tingkat kecerdasan anak usia sama di negara maju seperti Inggris. Kecerdasan yang dimaksudkan di sini adalah tingkat peguasaan atau keluasan wawasan. Di negara aju seperti Inggris anak usia SD hanya mengikuti pembelajaran yang lebih sederhana dan terfokus. Artinya, anak usia SD (khususnya kelas 1—3) hanya diberikan pembelaran membaca, menulis, berhitung, dengan konsep bermain.

Walaupun negara kita lebih unggul dalam pencapaian keluasan pembelajaran, ternyata fakta lebih berpihak bahwa kualitas pendidikan khususnya terkait masalah SDM di Indonesia ternyata masih kalah jauh bersaing dengan negara maju seperti Inggris.

Pencapaian tujuan pembelajaran yang memiliki kecenderungan pada aspek keluasan daripada kedalaman pun berlaku di perguruan tinggi. Sebagai contoh adalah di salah satu perguruan tinggi di Surabaya sebut saja X. perguruan tinggi X ini terdapat jurusan atau program Sastra Inggris. Namun dalam salah satu mata kuliahnya masih mencantumkan mata kuliah Bahasa Jerman. Bila mata kuliah Bahasa Jerman tersebut memang mendukung dan diperlukan dalam pemantapan perkuliahan sastra Inggris tidaklah menjadi suatu masalah. Tetapi dalam prakteknya mata kulaih bahasa Jerman ini hanyalah mejadi suatu mata kuliah agar mahasiswa mengetahui tentang konsep dasar seperti apa sih bahasa Jerman itu.

Sungguh ironis sekali bila dalam perguruan tinggi yang sudah dispesialisasikan pada suatu disiplin ilmu atau bidang tertentu masih ditemukan kerancuan pelaksanaan antara pencapaian aspek kedalaman dan keluasan lingkup materi.

Praktek pendidikan seperti inilah yang seharusnya digeser dengan penciptaan paradigma dan operasionalitas baru. Di era sekarang ini kita harus membuka mata bahwa aspek kedalaman lebih diutamakan daripada aspek keluasan dalam pembelajaran. Dengan konsep kedalaman dalam pembelajaran maka sesuatu hal itu mampu dicapai secara optimal dengan tingkat kompetensi dan penguasaan yang lebih baik.

Pendidikan yang lebih mengutamakan pencapaian aspek keluasan telah terbukti hanya berada di ranah permukaan, hasilnya dapat ditebak hanya sebatas hafalan dan pemahaman konsep.

Penciptaan paradigma dan operasionalitas baru dengan menggeser stereotip konsep keluasan dengan konsep edalaman dalam pembelajaran merupakan suatu langkah revolusi pendidikan di negeri ini. Kesadaran tentang konsep kedalaman dalam pembelajaran harus dtanamkan karena dengan pencapaian konsep kedalaman pembelajaran inilah maka penguasaan akan lebih optimal dan terfokus baik secara teori maupun praktik yang sangat dibutuhkan di era persaigan dan spesialisasi seperti sekarang ini.

Suatu tantangan besar yang perlu dijawab dengan tindakan berani dan pemikiran berjiwa besar.

Dian Komalasari
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya
dekabagink@yahoo.co.id

Wacana Diskusi Guru dan Praktisi Pendidikan sebagai Upaya Menjembatani Kesenjangan Peningkatan Kualitas Pembelajaran dan Pengajaran

Wacana Diskusi Guru dan Praktisi Pendidikan sebagai
Upaya Menjembatani Kesenjangan Peningkatan
Kualitas Pembelajaran dan Pengajaran di Lapangan


Ringkasan:
Kualitas pembelajaran dan pengajaran dapat lebih
ditingkatkan dengan menciptakan suatu wacana atau
media diskusi antara guru sebagai tenaga pendidik di
lapangan dengan dosen, khususnya dosen LPTK (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) sebagai praktisi
pendidikan. Selain dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran dan pengajaran yang pada akhirnya
bermuara pada peningkataan mutu pendidikan, sarana
diskusi ini juga dapat menjadi suatu peretas yang
menjembatani kesenjangan antara teori dengan
pelaksanaan prakteknya di lapangan. Keterjalinan kerja
sama ini juga akan lebih memberikan pemaknaan dan
pengenalan kondisi lapangan kepada praktisi pendidikan
dalam konsepsi dasar teoretis pencanangan kebijakan
ataupun perumus model, metode, atau pendekatan
pembelajaran dalam pendidikan agar lebih terpadu,
simultan, objektif, dan reliable.


Isi Artikel:
Kualitas pembelajaran dan pengajaran dapat lebih
ditingkatkan dengan menciptakan suatu wacana atau
media diskusi antara guru sebagai tenaga pendidik di
lapangan dengan dosen, khususnya dosen LPTK (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) sebagai praktisi
pendidikan. Selain dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran dan pengajaran yang pada akhirnya
bermuara pada peningkataan mutu pendidikan, sarana
diskusi ini juga dapat menjadi suatu peretas yang
menjembatani kesenjangan antara teori dengan
pelaksanaan prakteknya di lapangan.
Dengan sarana diskusi antara guru sebagai pelaksana di
lapangan dengan para dosen (dosen LPTK) sebagai
praktisi pendidikan diharapkan memiliki suatu
keberlanjutan pada bentuk kolaborasi diantara
keduanya. Pertama, hal ini dapat meningkatkan
kompetensi guru dengan pemerolehan dan penerapan
model, metode, atau pendekatan pembelajaran yang
mutakhir melalui kepelatihan penelitian dan eksperimen
maupun penyusunan karya ilmiah.
Kedua, diskusi yang berlanjut pada kolaborasi ini akan
lebih menyatukan antara penyusunan teori dalam
kaitannya dengan model, metode, atau pendekataan
pembelajaran yang benar-benar reliable dengan kondisi
lapangan oleh para praktisi pendidikan (dosen LPTK).
Wacana diskusi ini merupakan sarana yang dapat
mewadahi dan menjembatani antara suatu praktek
pembelajaran di lapangan yang dalam kaitannya
dilakukan oleh guru, dan suatu perkembangan teori atau
pendekatan pembelajaran yang mutakhir dalam kaitannya
dilakukan oleh para praktisi pendidikan. Karena tidak
menutup kemungkinan bahwa dalam praktek pembelajaran
guru sering menemukan kesulitan dalam menerapkan atau
menciptakan suatu model, metode, atau pendekatan baru
yang mampu mendukung proses dan hasil pembelajaran
siswanya. Namun, di lain pihak, para praktisi
pendidikan mampu memberikan suatu pemahaman,
pemerolahan, dan penerapan model, metode, atau
pendekatan baru sebagai upaya perkembangan
kemutakhiran paradigma pendidikan.
Apalah arti suatu kemutakhiran pendidikan melalui
produk model, metode, ataupun pendekatan yang baru,
kalau tidak dapat diimplementasikan secara langsung
dalam proses dan praktek pembelajaran di lapangan?
Ibarat pengambilan suatu kebijakan pendidikan yang
ditetapkan di belakang meja kerja yang tanpa melihat
aspek penerapannya di lapangan dan berakhir dengan
hasil yang rancu atau bahkan sia-sia.
Dan apakah efektif atau efisienkah bila guru yang
dalam praktek pembelajaran di lapangan memiliki
beberapa hambatan yang ditemui dalam menerapkan model,
metode, atau pendekatan yang sesuai agar dapat
memaksimalkan proses dan hasil pembelajaran tetapi
belum dapat menemukan pemecahannya? Sebagai jawabanya
guru akan menyelesaikan hambatan itu dalam
representasi pemecahan sesuai dengan kemampuan dan
kompetensi yang didasarkan pada sudut pandang dan
paradigma berpikirnya sendiri. Dengan demikian,
sebagai konsekuensinya permasalahan belum dapat
dituntaskan dengan pencapaian hasil yang semaksimal
mungkin.
Ibarat seseorang yang ingin mengupas apel tapi tak
tahu harus menggunakan pisau apa atau jenis pengupas
yang seperti apa? Dengan menggunakan silet ataukah
gergaji? Kedua-duanya memang bisa digunakan untuk
mengupas apel tetapi hasilnya kurang efektif dan
efisien, serta terkesan memaksa.
Memang di setiap daerah, seperti kabupaten memiliki
atau telah dibentuk suatu sarana diskusi guru setiap
bidang studi yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP). Tetapi seperti yang telah disebutkan
di atas bahwa banyak masalah yang ditemui guru dalam
praktek pembelajaran yang diselesaikan sebatas pada
cara pandang mereka sendiri. Dan walaupun ada tim MGMP
yang dapat dijadikan sebagai sarana diskusi antar guru
untuk dapat menemukan suatu pemecahan masalah, toh
kalau pisau atau paradigmanya sama karena kurang atau
terbatasnya sarana pelatihan dan komunikasi yang mampu
memberikan kontribusi sebuah pengenalan, pemerolehan,
daan penerapan model, metode, atau pendekatan yang
baru dan mutakhir sesuai dengan perkembangan, maka
sangat disayangkan apabila ada suatu wadah yang dapat
dijadikan sarana atau jembatan pemecahan masalahnya,
mengapa tidak diusahakan untuk dicoba dan
dimaksimalkan?
Penciptaan diskusi sebagai sarana rutin yang mewadahi
kerja sama interaktif antara guru sebagai pelaksana
praktek pembelajaran di lapangan dengan praktisi
pendidikan selaku perumus kebijakan ataupun model
pembelajaran memang sangat diperlukan. Praktek harus
didukung dengan teori, dan teori pun hanya dapat
bernilai kemanfaatan bila dapat diterapkan bila
melihat kondisi praktek di lapangan.
Dengan terjalinnya komunikasi antara guru dengan
praktisi pendidikan seperti dosen LPTK maka akan
menciptakan suatu konstruksi terpadu dalam upaya
perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran.
Keterjalinan kerja sama ini juga akan lebih memberikan
pemaknaan dan pengenalan kondisi lapangan kepada
praktisi pendidikan dalam konsepsi dasar teoretis
pencanangan kebijakan ataupun perumus model, metode,
atau pendekatan pembelajaran dalam pendidikan agar
lebih terpadu, simultan, objektif, dan reliable.
Di sisi lain, kualitas dan kompetensi guru pun semakin
meningkat seiring dengan pendayagunaan potensi
keprofesionalitasnya dalam melakukan rangkaian
enelitian maupun uji coba penghadiran suatu model,
metode, atau pendekatan baru dalam proses pembelajaran
sebagai bentuk kolaborasi dengan para praaktisi
pendidikan (khususnya dosen LPTK).
Dengan sendirinya guru di era sekarang ini pun tak
akan lagi dibingungkan dengan persyaratan program
sertifikasi guru yang membutuhkan kompetensi kinerja
dengan representasi portofolio meliputi penulisan
karya ilmiah, keikutsertaan pelatihan, organisasi,
maupun penelitian dalam pembelajaran. Hal ini
mengingat bahwa sarana diskusi rutin antara guru
dengan praktisi pendidikan ini juga dapat lebih
mendorong dan mengkondisikan guru untuk kreatif dan
inovatif baik melalui penelitian maupun penulisan
karya ilmiah yang berkaitan dengan pembelajarannya
masing-masing.
Seiring dengan meningkatnya kualitas, kompetensi, dan
keprofesionalan guru, maka kualitaas proses dan hasil
pembelajaran oleh siswa pun akan lebih meningkat
dengan penciptaan dan penghadiran model, metode, atau
pendekatan belajar yang lebih variatif. Sehingga
pelaksanaannya pun akan lebih terprogram secara
terpadu dan simultan sesuai dengan permasalahan dan
kondisi di lapangan yang sesungguhnya.
Dengan demikian wacana diskusi yang diselenggarakan
secara rutin antara guru sebagai pelaksana
pembelajaran di lapangan dengan para praktisi
pendidikan akan menjadi suatu konsepsi yang saling
menguntungakn diantara keduanya. Terapan simbiosis
mutualisme dalam penciptaan ranah peningkataan
kualitas pendidikan pun dapat diwujudkan meskipun
sebelumnya telah tercipta suatu stigma kesenjangan
antara pelaksanaan praktek pembelajaran di lapangan
oleh pihak guru dan pencanangan teori dan kebijakan
di tangan pihak praktisi pendidikan.

Dian Komalasari
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya

Polemik Penyimpangan Program Sertifikasi Guru

 Polemik Penyimpangan Pelaksanaan Program Sertifikasi
Guru
di Lapangan

Ringkasan:
Peningkatan kualitas pendidikan salah satuya harus
diiringi dengan peningkatan mutu dan kinerja tenaga
pendidik yaitu guru. Peningkatan kualitas guru pun
tidak hanya dituntut pada penguasaan kompetensi saja,
melainkan harus dibarengi dengan peningkatan
kesejahteraan guru sebagai tenaga pendidik di
sekolah-sekolah. Stigma inilah yang menjadi landasan
pelaksanaan program sertifikasi guru oleh pemerintah
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kompetensi guru sebagai tenaga pendidik.. Namun dalam
praktek pelaksanaannya sangat disayangkan sekali bahwa
program tersebut terindikasi oleh adanya
penyimpangan-penyimpangan di lapangan yang dilakukan
oleh pihak guru itu sendiri.

Isi Artikel:
“Ketika kita mengharapkan mawar di taman hidup, ia
malah layu dan mati. Ketika kita mengharapkan rumput
liar di taman mati, ia malah bertumbuh dan
berkembang”. Sebuah puisi kuno Jepang yang kiranya
dapat menggambarkan polemik pelaksanaan sertifikasi
guru di lapangan.
Guru merupakan suatu profesi yang berkontribusi pada
pengabdian. Meskipun demikian guru memiliki peranan
sebagai elemen yang penting dalam mewujudkan kemajuan
dunia pendidikan di negeri ini. Kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) kita berdasarkan survey yang dilakukan
baik oleh lembaga dalam maupun luar negeri ternyata
menunjukkan suatu representasi yang masih jauh dari
harapan.
Tentu saja kualitas SDM tersebut merupakan cerminan
mutu atau kualitas dunia pendidikan kita sendiri.
Kualitas pendidikan selalu memiliki keberlakuan yang
sejalan dengan kualitas SDM sebagai bentuk produknya.
Kualitas pendidikan yang rendah akan menghasilkan SDM
dengan tingkat kompetensi yang rendah pula. Begitupun
sebaliknya, kualitas pendidikan yang bagus akan
menghasilkan SDM yang bagus pula kualitasnya dan mampu
berdaya saing. Fenomena itulah yang harus dipahami
untuk ditemukan suatu celah sebagai jalan keluarnya.
Kualitas dunia pendidikan di negara kita harus
ditingkatkan baik secara ekstensifikasi maupun
intensifikasi yang salah satunya ialah terkait tenaga
pendidik yaitu guru. Peningkatan dan perbaikan guru
sebagaai tenaga pendidik melalui jalur ekstensifikasi
ialah dengan menambah jumlah angkatan guru, sehingga
tidak ada lagi masalah kurangnya ketersediaan guru
sebagai tenaga pendidik di sekolah-sekolah.
Peningkatan dan perbaikan guru sebagai tenaga pendidik
melalui jalur intensifikasi ialah dengan meningkatkan
mutu atau kualitas guru dalam kompetensi
pembelajarannya.
Peningkatan kualitas guru inipun harus dibarengi
dengan peningkatan kesejahteraan hidupnya. Mengingat
guru masih memiliki tingkat kesejahteraan yang belum
dapat dikatakan layak secara sepenuhnya karena masih
banyak guru hidup dalam kesederhanaan dan
keterbatasan. Kurangnya tingkat kesejahteraan guru ini
mengakibatkan banyak diantara mereka yang tidak hanya
membidangi satu profesi sebagai guru saja. Mereka
mencari mata pencaharian tambahan sebagai usaha
menunjang pendapatan untuk dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan hidup.
Mata rantainya adalah guru menjadi tidak fokus dan
kurang maksimal dalam pelaksanaan pembelajarannya di
kelas. Hal ini sangat berpengaruh pada kualitas
kinerja selaku tenaga pendidik yang memiliki tanggung
jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
representasi siswanya sebagai generasi penerus bangsa.
Stigma inilah yang menjadi landasan pelaksanaan
program sertifikasi guru oleh pemerintah.
Kebijakan pemerintah terkait pelaksanaan program
sertifikasi guru memiliki arah tujuan yang baik.
Selain untuk meningkatkan kesejahteraan guru, program
ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas daan
kompetensi guru sebagai tenaga pendidik.
Program sertifikasi guru memang belum dapat menghimpun
keikutsertaan semua guru. Hal ini mengingat bahwa
program sertifikasi guru mensyaratkan pemerintah untuk
memberikan tambahan tunjangan profesi sebesar satu
kali gaji pokok. Bisa dibayangkan bahwa bila semua
guru di Indonesia diikutsertakan pada program
sertifikasi guru tanpa suatu seleksi, maka semakin
berat beban APBN kita. Oleh karena itu, disesuaikan
dengan kemampuan APBN, maka dibuat suatu kebijakan
bahwa setiap guru yang mengikuti program sertifikasi
guru harus melalui tahap penyeleksian dengan memenuhi
beberapa persyaratan sebagai kualifikasinya.
Persyaratan penilaian portofolio pun diterapkan
seperti keikusertaan forum ilmiah, karya pengembangan
profesi, pengalaman organisasi pendidikan dan sosial,
penulisan karya ilmiah, ataupun pemenuhan jenjang
kependidikannya.
Tetapi sangat disayangkan bahwa dalam prakteknya,
program sertifikasi guru ini pun banyak terjadi
penyimpangan. Dan ironis sekali bahwa penyimpangan
tersebut dilakukan oleh pihak guru sendiri untuk dapat
lolos demi sebuah tambahan tunjangan profesi sebesar
satu kali gaji pokok.
Penyimpangan-penyimpangan itu meliputi manipulasi data
persyaratan kualifikasi sertifikasi guru, maupun
pemenuhan atau penyetaraan jenjang kependidikan yang
ditempuh. Manipulasi data persyaratan kualifikasi guru
ini adalah dalam bentuk rekayasa dokumen portofolio.
Guru mengajukan suatu penelitian yang pernah dilakukan
ataupun penulisan sebuah karya ilmiah melalui
pengesahan birokrasi sekolah yang kevaliditasannya
masih perlu dipertanyakan. Bahkan tidak menutup
kemungkinan ada praktek guru yang melakukan
pelanggaran dengan ‘menembak’ penelitian karya
orang lain.
Di samping itu, penyimpangan juga rawan terjadi pada
target pemenuhan atau penyetaraan jenjang kependidikan
yang ditempuh oleh guru. Fakta mengatakan bahwa
misalnya guru yang mengikuti program sertifikasi harus
lulusan S-1. Dalam prakteknya untuk mengejar lulusan
dengan predikat sebagai S-1, tidak sedikit guru yang
awalnya lulusan D-2 pun mengikuti program penyetaraan
untuk mendapatkan gelar S-1. Tapi memang di negeri ini
gelarlah yang lebih penting daripada mutu dan kualitas
lulusan. Dengan kata lain, tidak sedikit guru yang
lebih memilih mengikuti program penyetaraan di
perguruan tinggi yang memberikan kemudahan dengan
kualitas yang belum terakreditasi. Hasilnya
perkuliahan hanya beberapa kali, toh ijazah S-1 bisa
diperoleh juga. Yang terpenting adalah lancar membayar
SPP.
Inikah yang diharapkan dari program sertifikasi guru?
Mengapa peningkatan kesejahteraan dan kualitas guru
harus dibayar dengan konsepsi sebuah degradasi
kesadaran dan moral?
Memang tingkat kesejahteraan guru selaku tenaga
pendidik di negara kita bila dibandingkan dengan di
negara lain masih lebih rendah. Bahkan ada guru yang
berstatus belum diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS) menerima gaji dibawah UMR (Upah Minimum
Regional). Tetapi ini bukanlah suatu alasan untuk
melakukan penyimpangan agar lolos dalam program
sertifikasi guru.
Indikasi-indikasi penyimpangan program sertifikasi
guru tersebut sangat tidak diharapkan. Sebagaimana
tujuan diadakannya program sertifikasi guru adalah
untuk meningkaatkan kualitas kesejahteraan guru yang
diiringi dengan upaya meningkatkan kompetensi guru
sebagai tenaga pendidik.
Terlepas dari itu, penyimpangan terhadap program
sertifikasi guru tidak akan pernah terjadi apabila
semua elemen mampu menyambut baik dan menjaga
transparansi dari pelaksanaan kebijakan pemerintah
ini. Kebijakan pemerintah ini harus didukung oleh
segala pihak khususnya partisipasi aktif guru, karena
pada dasarnya program ini berimplikasi langsung pada
perbaikan nasib guru perihal kesejahteraan dan
kompetensinya.
Guru harus mampu menunjukkan kredibilitasnya sebagai
tenaga pendidik dengan ikut menyukseskan program
sertifikasi guru melalui sebuah pertanggungjawaban
moral. Diperlukan suatu konsepsi akan semangat
kebersaingan secara sehat sebagai elemen penyertaan
diri dalam seleksi pelaksanaan program sertifikasi
guru. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa kebijakan
pemerintah ini kedepannya akan lebih mampu menjaring
semua guru secara keseluruhan untuk ikut masuk dalam
program sertifikasi guru. Hal ini dapat terwujud
apabila kondisi perekonomian negara kita semakin baik
dan stabil dengan representasi APBN yang telah mampu
mencukupi dalam pendanaan. Selain itu, dengan suatu
pertimbangan bahwa sudah sepatutnya apabila
kesejahteraan guru perlu ditingkatkan seiring dengan
upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui aspek
kompetensi pembelajaran dan pengajaran secara
signifikan.

Dian Komalasari
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya

Pergeseran Paradigma Baru Pendidikan

Paradigma Telah Bergeser: Dulu Siswa yang Memilih
Sekolah, Kini Sekolah yang Memilih Siswa

Paradigma baru muncul untuk menggantikan paradigma
lama dan sebagai konsekuensinya kita harus dapat
mengubah cara pandang lama untuk dapat mengikuti
perubahan dan mampu bersaing atas nama suatu
pembaharuan.
Kiranya paradigma musim memilih sekolah yang tiap
tahun selalu bergulir telah bergeser konsep. Dulu
memang benar siswa yang memilih untuk masuk ke sekolah
sesuai dengan harapan dan keinginannya masing-masing.
Tapi sekarang? Sekolah-lah yang memilih siswa.
Sebelum memilih atau menetapkan sekolah yang akan
dimasuki, siswa harus banyak-banyak bercermin pada
diri baik dalam tataran tingkat kemampuan
sosial-ekonomi maupun peruntungan nilai hasil Ujian
Akhir Nasional (UAN). Karena bukanlah rahasia lagi
bahwa kini banyak sekolah-sekolah yang secara halus
atau secara tersirat mendeskripsikan sekolahnya dalam
criteria sebagai sekolah unggulan terkait tingkat
kemampuan sosial-ekonomi, yaitu untuk kalangan
menengah ke atas. Mereka berdalih dengan prinsip
“Jer Basuki Mawa Beya”. Dan di sini prinsip
tersebut diartikan bahwa pendidikan yang baik dan
bagus itu memang membutuhkan biaya. Biaya yang
dibutuhkan tentulah tidak sedikit. Ada uang maka ada
barang. Ada biaya maka ada kualitas. Memang kita tidak
menutup mata akan kerelevanan dan kebermaknaan prinsip
itu mengingat banyak sekolah khususnya sekolah negeri
ataupun swasta bonafit yang menerapkan prinsip itu dan
terbukti kebenarannya. Dengan jaminan biaya tinggi
akan dapat diikuti dengan penyediaan sarana-prasarana
pembelajaran yang sangat memadai dan penyediaan
tenaga-tenaga pengajar yang professional. Dan lihatlah
hasilnya yang berupa output (siswa) yang berkompeten
dan mampu bersaing.
Tapi benarkah prinsip tersebut akan menciptakan suatu
masyarakat yang berkeadilan dalam memperoleh
kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan,
mengingat kondisi bangsa Indonesia yang terdapat
kesenjangan yang semakin jauh antara golongan
konglomerat dengan golongan mlarat atau golongan
menengah ke atas dengan golongan menengah ke bawah?
Bila prinsip Jer Basuki Mawa Beya tetap diterapkan
dalam dunia pendidikan kita ini dengan persepsi atau
penerimaan yang demikian maka jangan harap di musim
milih sekolah untuk tahun ini maupun untuk tahun-tahun
berikutnya, para siswa dapat dengan bebas memilih
sekolah yang ingin dimasukinya. Yang ada ialah sekolah
yang memilih para calon siswanya.
Para siswa harus melihat dulu latar belakang sosial
ekonominya saat akan memilih sekolah tujuannya.
Berterimakah atau pantaskah ia duduk sebagai siswa di
sekolah yang dipilihnya? Sekolah dengan biaya tinggi
yang hanya terbatas untuk kalangan bermodal dan
berduit. Meski pemerintah telah menggratiskan
biayasekolah di tingkat Sekolah Dasar dan menghapuskan
keberadaan pembayaran BP3 khususnya di sekolah-sekolah
negeri untuk tingkat menengah pertama (SMP) dan
tingkat menengah atas (SMA), toh prakteknya tidak
demikian. Motif untuk mengadakan system tarif di
sekolah selalu saja ada, BP3 dihapus diganti dengan
sebutan SPP, nanti SPP dihapus diganti dengan antah
apa lagi namanya. Ada istilah bayar uang gedung
padahal gedung sekolah sudah berdiri tegak dan sudah
sangat memadai dan kalaupun toh ada pembangunan itu
sudah mendapat bantauan dari pemerintah, salah satunya
melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Meski calon siswa yang akan masuk di suatu sekolah,
katakanlah untuk urusan kecerdasan tidak kalah dan
nilai hasil Ujian Akhir Nasionalnya (UAN) tinggi
tetapi kemampuan sosial ekonominya rendah maka ini
nerupakan suatu kendala untuk memperoleh pendidikan
yang baik dan bermutu guna mengembangkan potensinya.
Memang untuk menangkis keadaan inidapat diajukan suatu
konsep tentang keberadaan dan kebergunaan program
beasiswa. Tapi tetap saja faktanya selalu tidak
sejalan dengan yang diharapkan. Beasiswa hanya mampu
menutupi biaya pendidikan dalam taraf biasa atau
sedang, dan untuk sekolah dengan biaya tinggi jelas
beasiswa tidak sanggup. Namannya juga beasiswa.
Dalam kasus ini mungkinkah ada yang salah dengan
prinsip Jer Basuki Mawa Beyakita itu? Ataukah memang
yang salah adalah penerimaan sekolah-sekolah dalam
penerapan prinsip tersebut? Mari hal itu kita tanyakan
pada diri kita masing-masing, karena bila kita
menuntut diadakannya perombakan terhadap system dan
tatanan yang telah begitu terpelihara seperti yang
demikian adalah merupakan sesuatu yang sangat sulit
mengingat siapakah kita ini?

Terlepas dari masalah tingkat kemampuan sosial ekonomi
yang menjadi salah satu faktor yang membuat pergeseran
dan perubahan paradigma dari siswa yang memilih
sekolahnya sendiri menjadi sekolah yang memilih
(calon) siswanya sendiri, juga dikarenakan adanya
tingkat peruntungan nilai hasil Ujian Akhir Nasional
(UAN). Mengapa? Karena sekolah dalam kegiatan
penerimaan siswa baru selalu menerapkan system
ranking. Artinya setiap siswa yang mendaftar diurutkan
atau diperingkat dari nilai yang paling tinggi sampai
nilai yang paling rendah. Danurutan atau peringkat ini
setiap saat bisa berubah disesuaikan dengan data
terkini para calon siswa yang mendaftar masuk. Dengan
demikian para siswa yang berada di posisi paling bawah
atau di zona degradasi harus bersiap-siap untuk cabut
atau pindah ke lain sekolah. Tentu mereka akan
berpindah ke sekolah yang great atau tingkat nilainya
lebih rendah daripada sekolah yang pertama tadi.
Memang Segala sesuatunya selalu memiliki sisi positif
dan sisi negatif. Dan system ranking atau peringkat
ini memang memberikan suatu konsep penyaringan bagi
(calon) siswa baru yang sifatnya ketat, bersaing, dan
terbuka. Tapi di sisi lain, penerapan system ranking
terkait faktor pilihan sekolah ini mengharuskan para
siswa untuk pandai membaca peluang dalam memilih
sekolah kalau tidak mau ia tersingkir dari persaingan
dengan siswa yang lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa musim milih sekolah kini
telah terjadi pergeseran paradigma, dulu siswa yang
memilih sekolah tetapi sekarang semuanya seolah
berbalik dan sekolah-lah yang kini memilih siswa.
Keadaan ini terjadi karena siswa dalam menentukan
sekolah yang menjadi pilihannya atau yang menjadi
tujuannya harus didasarkan pada tingkat kemampuan
sosial ekonomi dan tingkat peruntungan nilai hasil
Ujian Akhir Nasional (UAN)-nya. Ini merupakan suatu
keadaan yang sudah tidak dapat dihindari lagi dan para
siswa harus mampu menyesuaikan dengan keadaan yang
melingkupinya kini.


Rabu, 30 Mei 2007
Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Kekerasan Psikis Orang Tua Kepada Anak

Kekerasan Psikis Orang Tua Kepada Anak Aug 4, '07 9:46 AM
for everyone

Orang yang berpotensi menyakiti kita adalah
orang-orang terdekat kita. Memang pahit jika harus
menelan stigma semacam itu. Bila dikaitkan dengan
wacana kekerasan kepada anak, maka orang tualah
sebagai salah satu orang terdekat yang terindikasi
berpotensi melakukannya. Dan fakta telah mengarah ke
suatu konsep kebenaran yang semakin menguatkan
maraknya kekerasan terhadap anak oleh orang tuanya
sendiri.

Dalam konsep ini akan terjabarkan ke dalam hubungan
anak dan orang tua dengan tidak mengaitkannya dengan
konsep pertalian darah. Artinya pembahasan tidak
menyangkut kekerasan kepada anak dalam hubungannya
dengan orang tua kandung ataupun orang tua tiri. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari bias permasalahan
terkait banyaknya tindak kekerasan terhadap anak.

Seiring perubahan zaman, kekerasan terhadap anak tidak
hanya meliputi kekerasan secara fisik saja. Tetapi
kekerasan secara fisik telah termarjinalkan dengan
adanya bentuk kekerasan psikis terhadap anak.

Diakui atau tidak, kekerasan psikis kepada anak adalah
sesuatu yang rentan terjadi. Dan tidak menutup
kemungkinan kekerasan secara psikis ini akan
memunculkan atau bahkan dibarengi dengan kekerasan
secara fisik.
Kekerasan psikis sering terjadi tanpa disadari oleh
pelakunya (orang tua). Tentu saja hal ini disebabkan
oleh adanya dalih bahwa yang dilakukan ialah untuk
kebaikan anak itu sendiri.

Hari anak hanyalah menjadi simbol peringatan bagi
aksistensi anak, bila aksi kekerasan kepada anak tetap
dan semakin sering terjadi. kekerasan tidak hanya
terbatas pada kekerasan fisik yang secara lahiriah
tampak, tetapi juga meliputi kekerasan psikis yang
secara lahiriah tidak tampak.



Kekerasan psikis kepada anak adalah bentuk kekerasan
yang terselubung yang patut dikedepankan dalam
pencegahan dan penyelesaiannya. Sebagai contoh kecil
ialah fakt5a di lapangan yang membuktikan bahwa ketika
anak (siswa sekolah) memutuskan dalam memilih tempat
melanjutkan sekolah ataupun menetapkan jenis jurusan
(IPA, IPS, Dan Bahasa di tingkat SMA) atau bidang yang
akan ditekuninya. Selalu ada campur tangan orang tua
baik secara dominan maupun tidak dalam memutuskan
kedua masalah yang sebenarnya menyangkut diri siswa
sendiri.
Anak dalam memilih dan memutuskan akan sekolah ke mana
dan akan mengambil jurusan apa sudah tidak murni lagi
karena keputusan dan keinginannya masing-masing.
Tetapi ini lebih didasarkan atas dorongan dari orang
tua mereka. Sebenarnay yang mau sekolah itu sang anak
ataukah orang tuanya?.....capek dech

Di mata orang tua, keputusan yang diambil ialah
sesuatu yang terbaik bagi anak. Tidak ada orang tua
yang mengarahkan anaknya kepada sesuatu yang jelek.
Semu8anya semata-mata demi kepentingan sang anak
sendiri. Orang tua hanya sekadar untuk selalu mencoba
dan berusaha agar anak meraih masa depan yang baik.

Tampaknya wacana ini masih melekat kuat di benak para
orang tua pada umumnya seperti sebuah indoktrinasi.
Memang perlu diberikan suatu pemahaman yang luas,
dimana orang tua tugasnya adalah mendampingi dan
mengarahkan anak. Dan prlu diingat pula bahwa sesuatu
yang terbaik menurut ukuran orang tua itu tidak selalu
baik pula bagi anak. Artinya orang tua juga perlu
mengetahui dan mempertimbangkan minat, kemampuan, dan
kemauan anak dalam setiap usahanya untuk berbuat yang
terbaik bagi anak. orang tua adalah yang mengarahkan,
mendampingi, serta mendukung anak yang memiliki sasana
tersendiri atau memiliki arti tersendiri bagi anak.
Setiap keputusan yang menyangkut diri dan masa depan
anak tetap di tangan sang anak itu sendiri. Orang tua
bukan hanya main keputusan sepihak karena merasa
memiliki kewenangan terhadap anak dibandingkan siapa
pun termasuk si anak sendiri. Sesuatu yang dipaksakan
mesti hasilnya tidak baik walaupun itu tidak menempuh
cara kekerasan fisik.

Ada suatu kecenderungan apabila si anak memang dipaksa
untuk masuk pada bidang tertentu menurut pertimbangan
dan instruksi orang tua maka hasilnya akan kurang
optimal. Sedangkan apabila si anak diberikan suatu
konsep kebebasan yang bertanggung jawab dalam memilih
bidang atau jalan hidupnya sendiri, tentu hasilnya
akan lebih optimal bila dibandingkan denagn konsep
pengarahan yang ujung-ujungnya pendiktean oleh orang
tua. Sesuatu yang diawali dengan kesenangan (minat)
dan kemauan yang ditunjang pula dengan kesesuian
kemamapuan (keahlian) hasilnya akan luar biasa sekali.
Orang tua hanya memberikan suatu konsep kebebasan yang
bertanggung jawab yang artinya memberikan suatu
kebebasan kepada anak untuk memilih bidang atau jalan
hidupnya sendiri selama itu bersifat positif dan tidak
melanggar norma atau hukum yang berlaku, tetapi dengan
suatu konsekuensi bahwa bila si anak telah memilih
berarti harus dapat mempertanggungjawabkan pilihanya
tersebut secara konsekuen.

Kekerasan secara psikis kepada anak pun memiliki
dampak yang tak kalah berbahayanya dengan kekerasan
secara fisik. Apabila kekerasan secara fisik akan
berdampak buruk terhadap perkembangan mental atau
psikis anak, maka perlakuan yang mencerminkan
kekerasan secara psikis kepada anak akan dapat
mengubah bahkan membentuk mental, kepribadian, jati
diri, serta sikap yang semuanya berkemungkinan untuk
bertentangan dengan kedirian anak yang sesungguhnya.
Anak seolah bersikap dan berperilaku seperti robot
yang dijalankan oleh remote control yang dipegang
orang tuanya. Anak hanya menjadi objek ekspresi sosok
orang tua. Setiap keputusan orang tua adalah sang anak
pula yang harus dapat dijalankan atas nama kepentingan
anak. Bila hal ini terjadi terus-menerus, maka pertama
anak akan takut dalam setiap pengambilan keputusan
meski itu menyangkut kepentingan dan dirinya sendiri
(anak tidak mampu mandiri). Kedua, tidak menutup
kemungkinan bahwa jiwa anak akan berontak ke arah
yang negatif seperti menjadi seorang anak yang bandel,
nakal, bahkan lari ke narkoba.

Sebenarnya bila kita mau mencermati, pemberontakan
yang dilakukan oleh anak tersebut adalah sebagai
sarana pelarian karena merasa tertekan. Memang anak
dapat menjalankan atau mematuhi setiap keputusan orang
tua terhadap dirinya, tetapi secara psikis anak
tertekan. Karena merasa tertekan oleh orang tuanya
sendiri, sang anak tidak memiliki cukup keberanian
untuk memberitahukannya kepada orang tua, saudara
bahkan kepada orang lain. Sehingga mereka butuh
pelarian, pelampiasan, dan momen untuk mengekspresikan
diri demi mengurangi atau bahkan dapat membebaskan
ketertekanan dalam diri.

Pendidikan dimulai dari lingkungan keluarga, berlanjut
kepada lingkungan sekolah, masyarakat, dan lingkungan
yang lebih luas lagi cakupannya. Dan orang tualah yang
memiliki peranan utama dalam pendidikan di lingkungan
keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama yang
dikenal oleh anak.

Oleh karena itu, orang tua harus mampu mendidik
anak-anaknya dengan terbebas dari unsur-unsur
kekerasan baik secara fisik maupun psikis.

Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id