“… Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita….” (Ki Hajar Dewantara)
Afiliasi Pendidikan Berbasis Karakter bagi Capaian Masa Depan yang Lebih Baik
Oleh
Dian Komalasari
Maret 2011
Pendidikan berbasis karakter (di sekolah) didasarkan pada suatu kebutuhan akan perkembangan zaman. Fakta mengatakan bahwa hidup di era globalisasi saat ini tidak hanya memerlukan aspek intelektual. Lebih dari itu, dibutuhkan adanya sebuah pilar dan kemudi kehidupan berbangsa dan bernegara. Yakni, karakter. Karakter inilah yang akan melandasi setiap sikap dan perbuatan seseorang dalam implementasi intelektualnya. Cakupan individu membentuk di dalam kehidupan bermasyarakat yang keberlanjutannya tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana realita telah memberikan gambaran keprihatinan bahwa sebenarnya Indonesia, negara kita tercinta ini, tidak kekurangan orang yang berkompeten, pintar (ahli di bidangnya).
Tapi, mereka menggunakan keunggulan tersebut bukan untuk memajukan bangsa sendiri. Banyak diantara mereka yang mengabdi di negara asing dengan tawaran pemerolehan nilai kehidupan yang lebih menggiurkan. Alasan kurangnya perhatian dan penghargaan di negeri ini bagi para ahli, ilmuwan, ataupun orang yang berkompeten menjadi salah satu pembenaran. Di sini, berlaku hukum bahwa seseorang yang kurang ahli atau kurang berkompeten akan sangat luar biasa karir dan sepak terjangnya bila memiliki kedekatan politis—loyalitas berpamrih. Rasa nasionalisme pun kiranya hanya menjadi isapan jempol. Parahnya, ada yang menggunakan keunggulan tersebut untuk “minteri” bangsanya sendiri. Salah satu contoh ialah praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Malahan, budaya KKN telah menjadi sebuah kebanggaan karena tidak semua orang bisa dan mampu melakukan. Sebuah gubahan stereotip pun didengungkan bahwa praktik korupsi merupakan tindak kejahatan bila dilakukan secara perorangan. Bila dilakuykan secara bersama-sama melalui sebuah konspirasi, korupsi bukan lagi tindak kejahatan. Kian tinggi pendidikan, jabatan, dan kompetensi seseorang—kian luar biasa strategi KKN-nya agar tak mudah diidentifikasi.
Entahlah? Mungkin kita patut berpikir kembali akan dongeng "Si Kancil Mencuri Timun" yang kerap mampir di telinga kita sebagai salah satu cerita favorit pengantar tidur sewaktu kecil. Di usia dini, kita sudah dicekoki sebuah representasi Si Kancil yang memanfaatkan kecerdikannya dalam mengelabui seorang petani untuk hasrat mencuri timun. Bila tanpa disertai pemberian pengertian atau pemahaman sebagai katarsis sebuah cerita (oleh orang tua), tentu di usia yang belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk (3—5 tahun), seolah perilaku Si Kancil itu bukanlah sesuatu yang salah. Kini—ketika menjadi seseorang yang memiliki kewenangan (baca: pejabat), pun cerita "Si Kancil Mencuri Timun" teraplikasi dalam praktik mencuri uang rakyat atau uang negara. Ketimpangan antara tingkat intelektualitas dan moralitas inilah yang coba diselaraskan dengan sebuah konsep pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan berbasis karakter (PBK).
Berdasarkan hasil penelitian—menurut Daniel Goelman—dinyatakan bahwa kecerdasan IQ (intelligence quotient) menentukan sukses seseorang sebesar 20%. Sedangkan, kecerdasan emosional (emotional quotient) memberikan kontribusi 80% bersamaan dengan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Artinya, konsep dasar pendidikan haruslah meliputi penanaman dan pengembangan capaian olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa secara holistik (menyeluruh) dalam satu kesatuan. Bila sebelumnya praktik pendidikan di sekolah-sekolah memiliki kecenderungan berorientasi pada aspek pengembangan intelektual saja, maka diperlukan paradigma baru sebagai langkah perbaikan dengan raihan ketiga kecerdasan (IQ, SQ, EQ) bagi anak didik secara selaras. Kenapa harus di sekolah? Sekolah merupakan salah satu tempat "pencetak" generasi mendatang yang penuh harapan. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan kualitas SDM-nya. Kualitas SDM sendiri sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan pentingnya sinergi orang tua (lingkungan pendidikan keluarga), masyarakat, stakeholder/pemerintah, dan media massa.
Sekadar mengutip pernyataan Mendiknas, Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA, saat serah terima jabatan dengan Mendiknas lama, Prof. Dr. Bambang Sudiyo, MBA, pada 22 Oktober 2009, “Mari kita jadikan sekolah sebagai bagian membangun karakter. Memang urusan sekolah itu urusan yang sangat berbeda dengan urusan buat mobil. Kalau pembuatan mobil prosesnya reversible atau bisa diulang. Bila ada mobil yang cacat dalam pembuatan dan terlanjur dilempar ke pasaran, maka mobil tersebut bisa ditarik dan diperbaiki lagi. Tapi, begitu urusan sekolah itu prosesnya irreversible atau tak bisa diulang. Bila kita ada kesalahan dalam mendidik anak atau putra-putri kita, begitu mereka diluluskan, mereka tak mungkin lagi ditarik ke kelas untuk ‘diperbaiki.’
Mengingat betapa pentingnya PBK, kini PBK telah menjadi salah satu prioritas dalam program pendidikan nasional. Bahkan, sedang giat-giatnya disosialisasikan melalui berbagai kegiatan seminar, lokakarya, dan pengintegrasian ke dalam kurikulum di setiap satuan pelajaran. Implementasi yang langsung diintegrasikan di setiap satuan pelajaran mengandung maksud bila berdiri sendiri akan kurang sinkron dalam penerapan dan pencapaian lifeskill. Disamping itu, beban satuan pelajaran yang sudah cukup kompleks menjadi salah satu bahan pertimbangan.
Pendidikan karakter tak sebatas pada hal-hal yang menyangkut kesantunan. Tapi, mencakup pelibatan intellectual curiosity, kreativitas-inovasi, kejujuran, kedisiplinan, kepedulian, kerja sama, nasionalisme-cinta tanah air, dan karakter positif lainnya. Tentu saja penguasaan lifeskill menjadi sasaran utama. Dimana, siswa dituntut untuk bisa apa dan bukan hanya sekadar tahu apa. Cakupan sasaran penilaian aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik menjadi bagian di dalamnya.
PBK tidak memerlukan sarana istimewa, melainkan cukup dengan penghadiran keteladanan dari pimpinan dan guru, penguatan sandaran nilai-nilai kemuliaan hidup sebagai acuan karakter, perwujudan konsistensi pelaksanaan (proses pembudayaan dan pemberdayaan). Selain itu, penerapan PBK bukanlah hal yang sulit. Mengingat (baca: PBK oleh Najib Sulhan) konsep pendidikan pada hakikatnya bertumpu pada sifat dasar manusia yang berlandaskan pada tiga pilar utama. Pertama, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (memiliki kecenderungan berbuat baik). Kedua, setiap anak memiliki kecerdasan—sebagaimana 9 kecerdasan menurut Howard Gardner—kecerdasan spiritual, linguistik/bahasa, logis-matematis, visual-spasial, kinestetik/jasmaniah, musikal, intrapersonal/memahami diri sendiri, interpersonal/sosial, natural/lingkungan alam. Ketiga, setiap aktivitas memiliki tujuan atau kebermaknaan pembelajaran.
Di sekolah, penerapan PBK secara sederhana salah satunya dimotori oleh adanya kantin kejujuran (kajur). Tingkat kejujuran semua warga sekolah yang memanfaatkan fasilitas kajur itupun coba dipertaruhkan. Tentu, antara sekolah satu dengan yang lain, berbeda penerapan dan tingkat keberhasilan. Salah satu indikator positif ialah kalau kajur tersebut masih tetap survive—dengan omset tetap atau lebih meningkat—berarti nilai atau tingkat kejujuran warga di sekolah tersebut dapat dikatakan cukup baik. Bila tingkat kejujurannya ingin dikatakan baik atau pun sangat baik, maka pimpinan dan guru sebagai sosok keteladanan (dalam penetapan regulasi dan pengelolaan dana sekolah) ataupun siswa (dalam praktik keseharian dan pelaksanaan ujian) harus terbebas dari praktik kecurangan atau penyelewengan.
Sebut saja di pihak pimpinan dan guru melalui keteladanan budaya antikorupsi. Diharapkan tak ada lagi tersiar kabar seorang pemangku kebijakan di sekolah harus menghadapai tuntutan hukum di pengadilan perihal penyelewengan pengelolaan dana sekolah. Misal, praktik mark up (penggelembungan) anggaran ataupun pemalsuan pendanaan sebuah program atau kegiatan fiktif tanpa realisasi. Bahkan, ada yang tanpa rasa malu harus mendekam di hotel prodeo—penjara. Dalam hal ini, pemerintah telah menunjukkan apresiasi positif di dunia pendidikan disamping melakukan berbagai langkah perbaikan mutu dan kualitas, pun kucuran deras pendanaan semisal bantuan operasional sekolah dari pemerintah pusat (BOS), bantuan operasional pemerintah daerah (Bopda), dan bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) terus direalisasikan. Namun, sangat disayangkan bila praktiknya banyak terjadi kebocoran dan penyelewengan. Sebuah keprihatinan yang luar biasa, sekolah sebagai salah satu tempat mendidik dan membelajarkan generasi mendatang—penerus bangsa, kenapa harus dijadikan ladang korupsi? Ujung-ujungnya pengkambinghitaman ranah sistem. Bukan sesuatu yang bijak bila kita sebatas menyalahkan sistem untuk membenarkan praktik kebocoran dan penyelewengan. Toh, sistem itu sendiri diciptakan, dikelola, dan dijalankan oleh kita sebagai pelakunya. Memang dibutuhkan kesadaran sebagai bangsa yang mengaku beradab, berbudaya, dan beragama—kita kurang memiliki budaya malu, budaya meminta maaf, budaya berterima kasih, serta beribadah hanya sebatas ritual atau rutinitas tanpa kebermaknaan dalam capaian nilai-nilai kehidupan.
Di sisi lain—siswa, bukanlah sebuah khayalan kalau ketika ujian tidak perlu lagi keberadaan seorang "pengawas". Pun nilai atau tingkat kejujuran warga di sekolah tersebut (pimpinan, guru, dan siswa) layak diacungi dua jempol. Di samping itu, bila PBK telah tertanam kuat tentu kasus perkelahian dan tawuran antarpelajar tak akan lagi terjadi. Keberlanjutannya ialah terciptanya lingkungan belajar yang kondusif dan representatif.
Betapa besarnya manfaat afiliasi PBK bagi capaian masa depan yang lebih baik. Utamanya, anak didik kita yang akan memegang kemudi bangsa ini kedepannya. Adakah alasan untuk menunda atau pun tidak menerapkan PBK dalam setiap pembelajaran di sekolah?
Secercah harapan terhatur atas nama impian. Hanya dengan kerja keras dan optimisme, semua akan diraih. Salam.