Google
 

It's Show Time!

Kunjungi juga blogku lain sisi ! "sasana negeriku" dekabagink.multiply.com… titiknadirku.blogspot.com

Senin, 31 Maret 2008

Kekerasan Psikis Orang Tua Kepada Anak

Kekerasan Psikis Orang Tua Kepada Anak Aug 4, '07 9:46 AM
for everyone

Orang yang berpotensi menyakiti kita adalah
orang-orang terdekat kita. Memang pahit jika harus
menelan stigma semacam itu. Bila dikaitkan dengan
wacana kekerasan kepada anak, maka orang tualah
sebagai salah satu orang terdekat yang terindikasi
berpotensi melakukannya. Dan fakta telah mengarah ke
suatu konsep kebenaran yang semakin menguatkan
maraknya kekerasan terhadap anak oleh orang tuanya
sendiri.

Dalam konsep ini akan terjabarkan ke dalam hubungan
anak dan orang tua dengan tidak mengaitkannya dengan
konsep pertalian darah. Artinya pembahasan tidak
menyangkut kekerasan kepada anak dalam hubungannya
dengan orang tua kandung ataupun orang tua tiri. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari bias permasalahan
terkait banyaknya tindak kekerasan terhadap anak.

Seiring perubahan zaman, kekerasan terhadap anak tidak
hanya meliputi kekerasan secara fisik saja. Tetapi
kekerasan secara fisik telah termarjinalkan dengan
adanya bentuk kekerasan psikis terhadap anak.

Diakui atau tidak, kekerasan psikis kepada anak adalah
sesuatu yang rentan terjadi. Dan tidak menutup
kemungkinan kekerasan secara psikis ini akan
memunculkan atau bahkan dibarengi dengan kekerasan
secara fisik.
Kekerasan psikis sering terjadi tanpa disadari oleh
pelakunya (orang tua). Tentu saja hal ini disebabkan
oleh adanya dalih bahwa yang dilakukan ialah untuk
kebaikan anak itu sendiri.

Hari anak hanyalah menjadi simbol peringatan bagi
aksistensi anak, bila aksi kekerasan kepada anak tetap
dan semakin sering terjadi. kekerasan tidak hanya
terbatas pada kekerasan fisik yang secara lahiriah
tampak, tetapi juga meliputi kekerasan psikis yang
secara lahiriah tidak tampak.



Kekerasan psikis kepada anak adalah bentuk kekerasan
yang terselubung yang patut dikedepankan dalam
pencegahan dan penyelesaiannya. Sebagai contoh kecil
ialah fakt5a di lapangan yang membuktikan bahwa ketika
anak (siswa sekolah) memutuskan dalam memilih tempat
melanjutkan sekolah ataupun menetapkan jenis jurusan
(IPA, IPS, Dan Bahasa di tingkat SMA) atau bidang yang
akan ditekuninya. Selalu ada campur tangan orang tua
baik secara dominan maupun tidak dalam memutuskan
kedua masalah yang sebenarnya menyangkut diri siswa
sendiri.
Anak dalam memilih dan memutuskan akan sekolah ke mana
dan akan mengambil jurusan apa sudah tidak murni lagi
karena keputusan dan keinginannya masing-masing.
Tetapi ini lebih didasarkan atas dorongan dari orang
tua mereka. Sebenarnay yang mau sekolah itu sang anak
ataukah orang tuanya?.....capek dech

Di mata orang tua, keputusan yang diambil ialah
sesuatu yang terbaik bagi anak. Tidak ada orang tua
yang mengarahkan anaknya kepada sesuatu yang jelek.
Semu8anya semata-mata demi kepentingan sang anak
sendiri. Orang tua hanya sekadar untuk selalu mencoba
dan berusaha agar anak meraih masa depan yang baik.

Tampaknya wacana ini masih melekat kuat di benak para
orang tua pada umumnya seperti sebuah indoktrinasi.
Memang perlu diberikan suatu pemahaman yang luas,
dimana orang tua tugasnya adalah mendampingi dan
mengarahkan anak. Dan prlu diingat pula bahwa sesuatu
yang terbaik menurut ukuran orang tua itu tidak selalu
baik pula bagi anak. Artinya orang tua juga perlu
mengetahui dan mempertimbangkan minat, kemampuan, dan
kemauan anak dalam setiap usahanya untuk berbuat yang
terbaik bagi anak. orang tua adalah yang mengarahkan,
mendampingi, serta mendukung anak yang memiliki sasana
tersendiri atau memiliki arti tersendiri bagi anak.
Setiap keputusan yang menyangkut diri dan masa depan
anak tetap di tangan sang anak itu sendiri. Orang tua
bukan hanya main keputusan sepihak karena merasa
memiliki kewenangan terhadap anak dibandingkan siapa
pun termasuk si anak sendiri. Sesuatu yang dipaksakan
mesti hasilnya tidak baik walaupun itu tidak menempuh
cara kekerasan fisik.

Ada suatu kecenderungan apabila si anak memang dipaksa
untuk masuk pada bidang tertentu menurut pertimbangan
dan instruksi orang tua maka hasilnya akan kurang
optimal. Sedangkan apabila si anak diberikan suatu
konsep kebebasan yang bertanggung jawab dalam memilih
bidang atau jalan hidupnya sendiri, tentu hasilnya
akan lebih optimal bila dibandingkan denagn konsep
pengarahan yang ujung-ujungnya pendiktean oleh orang
tua. Sesuatu yang diawali dengan kesenangan (minat)
dan kemauan yang ditunjang pula dengan kesesuian
kemamapuan (keahlian) hasilnya akan luar biasa sekali.
Orang tua hanya memberikan suatu konsep kebebasan yang
bertanggung jawab yang artinya memberikan suatu
kebebasan kepada anak untuk memilih bidang atau jalan
hidupnya sendiri selama itu bersifat positif dan tidak
melanggar norma atau hukum yang berlaku, tetapi dengan
suatu konsekuensi bahwa bila si anak telah memilih
berarti harus dapat mempertanggungjawabkan pilihanya
tersebut secara konsekuen.

Kekerasan secara psikis kepada anak pun memiliki
dampak yang tak kalah berbahayanya dengan kekerasan
secara fisik. Apabila kekerasan secara fisik akan
berdampak buruk terhadap perkembangan mental atau
psikis anak, maka perlakuan yang mencerminkan
kekerasan secara psikis kepada anak akan dapat
mengubah bahkan membentuk mental, kepribadian, jati
diri, serta sikap yang semuanya berkemungkinan untuk
bertentangan dengan kedirian anak yang sesungguhnya.
Anak seolah bersikap dan berperilaku seperti robot
yang dijalankan oleh remote control yang dipegang
orang tuanya. Anak hanya menjadi objek ekspresi sosok
orang tua. Setiap keputusan orang tua adalah sang anak
pula yang harus dapat dijalankan atas nama kepentingan
anak. Bila hal ini terjadi terus-menerus, maka pertama
anak akan takut dalam setiap pengambilan keputusan
meski itu menyangkut kepentingan dan dirinya sendiri
(anak tidak mampu mandiri). Kedua, tidak menutup
kemungkinan bahwa jiwa anak akan berontak ke arah
yang negatif seperti menjadi seorang anak yang bandel,
nakal, bahkan lari ke narkoba.

Sebenarnya bila kita mau mencermati, pemberontakan
yang dilakukan oleh anak tersebut adalah sebagai
sarana pelarian karena merasa tertekan. Memang anak
dapat menjalankan atau mematuhi setiap keputusan orang
tua terhadap dirinya, tetapi secara psikis anak
tertekan. Karena merasa tertekan oleh orang tuanya
sendiri, sang anak tidak memiliki cukup keberanian
untuk memberitahukannya kepada orang tua, saudara
bahkan kepada orang lain. Sehingga mereka butuh
pelarian, pelampiasan, dan momen untuk mengekspresikan
diri demi mengurangi atau bahkan dapat membebaskan
ketertekanan dalam diri.

Pendidikan dimulai dari lingkungan keluarga, berlanjut
kepada lingkungan sekolah, masyarakat, dan lingkungan
yang lebih luas lagi cakupannya. Dan orang tualah yang
memiliki peranan utama dalam pendidikan di lingkungan
keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama yang
dikenal oleh anak.

Oleh karena itu, orang tua harus mampu mendidik
anak-anaknya dengan terbebas dari unsur-unsur
kekerasan baik secara fisik maupun psikis.

Dian Komalasari
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia
dekabagink@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: