24 nov 2010
(Peringatan Hari Guru, 25 November 2010)
Guru: Bukan Lagi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Berbicara tentang profesi guru tidak dapat dipisahkan dengan representasi akan sebuah julukan yang telah tersematkan sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa.” Mengapa guru yang tidak ikut berduel dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah memperoleh julukan pahlawan? Ditambah embel-embel tanpa tanda jasa pula?!
Bahkan, entah disengaja atau hanya sekadar kebetulan, Hari Guru dan Hari Pahlawan pun sama-sama diperingati di bulan November. Jika Hari Pahlawan jatuh pada 10 November, maka selisih 15 hari kemudian, 25 November, diperingati sebagai Hari Guru. Untuk tahun ini, diperingati tepatnya besok, Kamis Pahing.
Mungkin ada diantara kita yang bertanya, ini peringatan Hari Guru yang ke-berapa? Sejak kapan guru punya hari jadi, sedangkan profesi lain belum ada kecuali buruh?
Terlepas dari itu semua, kata pahlawan mengandung maksud akan seorang sosok yang rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Hari Pahlawan yang setiap tahun diperingati pada 10 November merupakan sebuah nukilan dari peristiwa sejarah bangsa ini dalam mempertahankan kemerdekaan khususnya pertempuran di Surabaya dari agresi militer Belanda. Para pahlawan dalam hal ini pejuang rela mengorbankan jiwa dan raga demi bangsa ini. Sebuah pengorbanan yang luar biasa atas nama nasionalisme.
Zaman berganti dan era pun berubah. Kini, bukan lagi merebut dan mempertahankan, tetapi bagaimana mengisi kemerdekaan. Dan bukan hal muluk untuk dikemukakan bahwa guru menjadi salah satu subjeknya.
Kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). Bila kualitas SDMnya luar biasa, maka suatu negara pun akan mengalami kemajuan yang luar biasa. Fakta membuktikan bahwa suatu negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA) dan memiliki jumlah penduduk yang besar tetapi tidak dibarengi dengan kualitas SDM yang mumpuni tidak akan berdaya guna secara optimal bagi kemajuan negeri tersebut. Tentu bukan rahasia lagi bahwa negara kita kaya akan SDA dan memiliki jumlah penduduk yang besar, tetapi kita harus cukup bangga dengan hanya berstatus sebagai negara berkembang. Kata orang, negara berkembang itu untuk memberikan penghalusan nilai rasa bahasa dari sebuah sebutan sebagai negara miskin.
Hal itu berbeda dengan negara-negara yang berstatus sebagai negara maju. Ambillah seperti Jepang ataupun Jerman. Keduanya, untuk kategori kekayaan SDA dan jumlah penduduk sangatlah jauh di bawah Indonesia. Tetapi mereka dapat keluar sebagai juara, karena memang kualitas SDM yang luar biasa.
Bila dirunut kembali, kualitas SDM tersebut sangatlah bergantung pada kualitas pendidikan. Dengan kualitas pendidikan yang baik, dapat dicetak SDM yang unggul. Tentu saja pendidikan yang dimaksudkan tidak hanya bertumpu pada aspek intelektual saja. Tetapi juga meliputi pembangunan karakter peserta didik. Sebagaimana kini telah menjadi Program Nasional Pendidikan Berbasis Karakter. Percuma bila hanya sekadar pintar tetapi tidak diimbangi dengan aspek moralitas/karakter yang kuat. Hasilnya, akan terjadi penyimpangan dan penyalahguanaan seperti maraknya praktik KKN di negeri ini.
Dan guru menjadi salah satu elemen penting untuk tercapainya kualitas pendidikan sesuai dengan yang dicita-citakan, disamping elemen lain, seperti keluarga, masyarakat/swasta, dan pemerintah. Hal itu mengingat, guru menjadi ujung tombak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya melalui kegiatan pembelajaran di sekolah. Besarnya tanggung jawab yang diemban guru inilah yang menjadi landasan penyematan gelar pahlawan.
Tetapi tanggung jawab besar yang ada dipundak para guru tersebut tidak dibarengi dengan sebuah tingkat kelayakan hidup. Melihat tingkat kesejahteraan guru yang pas-pasan dan bahkan di bawah standar menjadi sebuah pembenaran untuk menambahkan kata “tanpa tanda jasa” di belakangnya.
Bahkan, seniman sekelas Iwan Fals pun tersentuh atas keprihatinan nasib guru dengan menuangkannya dalam sebuah syair lagu “Umar Bakrie”. Sarat kesederhanaan yang mengarah kepada ketidakmampuan.
Tak ayal, para guru tersebut tidak dapat menggantungkan sumber pendapatan dari kegiatan mengajar saja. Kerja sampingan menjadi pilihan, baik itu menjadi tukang ojek, pedagang, ataupun lainnya. Bahkan, di salah satu serial acara Kick Andi yang tayang di Metro TV pernah mengisahkan seorang guru yang nyambi sebagai seorang pemulung. Masalahnya, bagaimana mungkin seorang guru mampu menciptakan pembelajaran yang sarat inovasi dan kreativitas apabila untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya saja sudah kesulitan? Kapan kualitas pendidikan kita akan membaik? Kapan kualitas SDM kita akan meningkat? Kapan negara kita ini akan maju? Sederetan pertanyaan pun akan segera bermunculan untuk segera mencari sebuah solusi.
Namun, kini perubahan besar telah dicapai profesi guru, khususnya dalam hal perbaikan nasibnya. Tentu perbaikan tersebut akan diimbangi dengan peningkatan kualitas/mutu kompetensi para guru. Yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kualitas SDM.
Pemerintah sebagai pemegang regulasi pun menawarkan sebuah solusi. Disamping memperbaiki sistem pendidikan (kurikulum) dan meningkatkan sarana prasarana pendidikan, pemerintah pun berusaha memperbaiki kualitas/mutu guru dan meningkatkan kesejahteraan guru. Sebagaimana ditetapkan melalui sebuah peraturan Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Realisasinya meliputi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD (untuk program BOS/BOPDA) agar terciptanya pendidikan yang murah dan terjangkau; dan program sertifikasi guru (dengan memperbaiki kualitas/mutu kompetensi guru dengan berbagai pelatihan, lokakarya, ataupun beasiswa studi, serta memperbaiki tingkat kesejahteraan guru khususnya dengan memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji disamping tunjangan lain seperti tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi). Program sertifikasi inipun memberikan peluang yang sama dalam proses penjaringannya bagi setiap guru baik yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) maupun yang belum PNS dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Di sini, konsep yang coba ditawarkan sangatlah sederhana bahwa kini guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa. Dimana pada dasarnya, seseorang disebut sebagai pahlawan memang karena dalam melakukan sesuatu itu tanpa mengharapkan imbalan jasa atau pamrih.
Kalau boleh kita menilik ke belakang, untuk melihat perbaikan/peningkatan yang dicapai oleh profesi guru. Dulu, pertama dari segi apresiasi masyarakat, peminat untuk menjadi seorang guru sangat minim. Bahkan, profesi guru menjadi pilihan terakhir. Tak heran, perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga pendidik/kependidikan masih dipandang sebelah mata (semacam Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Walaupun di dalam pergaulan bermasyarakat, profesi seorang guru memiliki citra yang positif baik sebagai subjek pertimbangan ataupun sosok yang bersahaja; kedua dari segi kesejahteraan, profesi guru identik dengan gaji kecil; ketiga dari segi organisasi dan perundangan, profesi guru dinaungi oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai suatu wadah yang menampung dan menyuarakan aspirasi guru. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi guru (dan dosen) belum ada.
Sekarang, dari segi apresiasi masyarakat terjadi perubahan yang luar biasa. Peminat guru meningkat drastis. Perguruan tinggi semacam LPTK kini kian menaikkan standar lulusan didalam proses seleksinya. Dan guru menjadi profesi yang dipilih bukan karena tiada pilihan lagi. Tingkat kewibawaan dan kesahajaan guru pun ikut terdongkrak naik; dari segi kesejahteraan, guru bukan lagi profesi yang bergaji kecil atau profesi dengan gaya hidup ekonomi sulit. Melalui program sertifikasi guru salah satu poinnya adalah meningkatkan kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Dengan sendirinya, taraf hidup dan status sosial guru meningkat. Kalau dulu Umar Bakrie, maka kini kiranya guru lebih pantas dengan sebutan Abu Rizal Bakrie. Sama-sama Bakrienya, tetapi status sosialnya sangat jauh berbeda; dari segi organisasi dan perundangan, kini guru tidak hanya memiliki PGRI sebagai wadah/induk organisasinya. Tetapi juga telah berdiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), bahkan pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan khusus tentang guru dan dosen yakni, Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Soal penghargaan/tanda jasa, seolah tidak kalah dengan para pejuang, guru pun memilikinya. Penghargaan/tanda jasa yang dapat diberikan kepada seorang guru (dengan status PNS, berdasarkan Keppres Nomor 25/1994) diantaranya : Satyalancana Karya Satya Sepuluh Tahun berwarna perunggu bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 10 tahun; Satyalancana Karya Satya Dua Puluh Tahun berwarna perak bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 20 tahun; Satyalancana Karya Satya Tiga Puluh Tahun berwarna emas bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 30 tahun
Kiranya apresiasi/penghargaan yang diterima guru kini sudah luar biasa bila dibandingkan masa-masa sebelumnya. Meskipun, di beberapa daerah masih ada yang menyuarakan tentang keprihatinan nasib beberapa guru. Tetapi secara umum, patut diakui bahwa telah terjadi perbaikan, peningkatan, dan apresiasi yang positif terhadap profesi seorang guru. Bahkan, tidak kalah dengan seorang pejuang. Dan tidak menutup kemungkinan akan ada penilaian yang mengatakan bahwa lebih baik kondisi guru daripada seorang pejuang/veteran khususnya saat ini bila dilihat dari tingkat kesejahteraan, serta representasi organisasi dan perundang-undangan.
Tentu saja, para guru tidak akan mau bila dikatakan sebagai orang yang tidak tahu terima kasih atas berbagai rujukan perbaikan, peningkatan, dan apresiasi yang diterima saat ini. Maka tidak ada salahnya bila sebutan sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa” diharapkan untuk mulai ditanggalkan. Bukan untuk maksud yang wah, neko-neko, atau sekadar cari sensasi. Tetapi lebih kepada sebuah umpan balik dan rasa terima kasih guru atas segala apresiasi positif yang telah diberikan selama ini.
Tetapi bila sebutan “Pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut menyandang joke bahwa sampai saat ini ada satu hal yang masih belum bisa dicapai guru bila ingin menyamai seorang pejuang/veteran dan sebagai alasan susahnya menanggalkan embel-embel ‘tanpa tanda jasa’ adalah bila meninggal belum atau tidak dimakamkan di taman makam pahlawan, hehe…, maka semuanya bergantung dari sisi mana kita melihat. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar