Google
 

It's Show Time!

Kunjungi juga blogku lain sisi ! "sasana negeriku" dekabagink.multiply.com… titiknadirku.blogspot.com

Selasa, 17 Januari 2012

Afiliasi Pembangunan Sumber Daya Manusia bagi Capaian Cita-Cita Proklamasi

Agustus 2010


Afiliasi Pembangunan Sumber Daya Manusia bagi Capaian Cita-Cita Proklamasi

Usia 65 tahun bukanlah usia muda lagi. Bila diumpamakan orang tentunya sudah memasuki masa tua (manula). Hakikatnya adalah masa menikmati apa yang telah diupayakan di masa mudanya. Tapi, akankah itu sejalan dengan usia sebuah negara? Dan di sini Indonesia?
Bila kita menilik sejarah, perjuangan untuk meraih kemerdekaan bangsa ini bukanlah perkara mudah. Berbagai pengorbanan dan dedikasi para Founder Father negeri ini begitu besar. Jiwa dan raga menjadi taruhan atas nama nasionalisme untuk mengusir penjajah. Lalu, apakah semuanya selesai setelah kemerdekaan dicapai?
Ternyata tidak. Perjuangan belumlah usai. Tanggung jawab besar masih menunggu di depan. Kemerdekaan hanyalah sebagai sarana untuk mencapai cita-cita proklamasi. Sebagaimana di dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa hal itu sebagai sebuah pintu gerbang untuk menciptakan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Yang direpresentasikan ke dalam tujuan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesemuanya secara otomatis belum bisa tercapai meski kemerdekaan telah di tangan. Diperlukan perjuangan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Bila di awal kemerdekaan, untuk keberlangsungan sebuah negara diantaranya segera dibentuk susunan pemerintahan, hukum dasar (UUD 1945), pergerakan mempertahankan kemerdekaan dari agresi musuh, pengusahaan diplomasi dan pencarian pengakuan kemerdekaan dari negara lain. Maka, kondisi sekarang sudah berbeda. Ibarat pondasi bangunan sudah kokoh, generasi kini dituntut untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang berkelanjutan untuk sebuah keutuhan representasi sebuah negara. Yakni, menciptakan kehidupan masyarakat yang berbangsa dan bernegara yang adil, makmur, dan sejahtera baik material maupun spiritual.
Hendaknya, benar bila kita harus bercermin dari perkataan orang bijak “Jangan bertanya tentang apa yang sudah negara berikan kepada kita. Tapi, apa yang sudah kita berikan kepada negara ini?” Itulah yang sekiranya harus ditanamkan pada semua elemen bangsa ini. Di usia yang ke 65 tahun, Indonesia seharusnya menjadi sebuah negara yang adil dan makmur seperti yang tertuang dalam cita-cita proklamasi.
Memang mengharukan bila melihat potret negeri ini yang tak seindah harapan. Peringkat pertama negara terkorup di Asia. Angka kemiskinan dan pengangguran yang kian meningkat. Hutang luar negeri yang konon katanya berkurang (IMF telah dilunasi) tapi sekadar ganti kreditur di ADB yang jumlahnya kian membengkak. Anggaran pendidikan mendapat porsi besar (20% dari APBN), tapi nyatanya biaya pendidikan kian mahal, akibatnya tak semua rakyat memiliki kesempatan mengenyam pendidikan. Masalah kelestarian lingkungan yang masih terabaikan, salah satu indikasinya rawan terjadi bencna banjir dan kekeringan. Belum lagi berbagai permasalahan lain yang begitu kompleks.
Salah siapa? Sudah tidak tepat lagi kita saling menyalahkan, bila ujung-ujungnya tanpa penyelesaian. Malah, melupakan hal pokok yang menjadi tujuan kita. Sudah lumrah di negeri ini, bila ada yang takut melaporkan sebuah tindak korupsi. Bukan rahasia lagi, kalau yang melapor bisa-bisa masuk penjara entah karena tersangkut kasus korupsi itu sendiri ataupun kasus yang lain. Kasus pun akan bergulir yang terkadang keluar dari esensi pokoknya. Ada-ada saja memang.
Jas Merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah ungkapan dari seorang tokoh founder father negeri ini, Bung Karno, presiden pertama RI. Sejarah terjadi bukan untuk dilupakan atau sebatas dikenang. Banyak hal yang bisa dipetik dari sejarah. Sejarah telah membuktikan bahwa kemajuan suatu negara sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal itu sejalan dengan salah satu cita-cita proklamasi yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa. Representasinya yakni meningkatkan kualitas dunia pendidikan baik material maupun spiritual..
Mengapa harus pendidikan? Pendidikan merupakan salah satu indikator yang sangat berpengaruh pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas Pendidikan dan SDM memberikan suatu keselerasan konsep. Semakin baik mutu pendidikan suatu negara maka akan berpengaruh kepada semakin baik pula kualitas SDM. Begitupun sebaliknya, bila kualitas pendidikan sebuah negara rendah, maka kualitas SDMnya pun rendah. SDM menjadi salah satu kekuatan/kunci penggerak untuk mencapai keberhasilan di berbagai bidang baik politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Letak Indonesia yang strategis, kekayaan alam dan budaya yang melimpah, populasi penduduk yang besar terutama di angka usia produktif merupakan beberapa representasi kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal itu menjadi modal dasar yang berharga bagi negeri ini untuk mencapai kemakmuran melalui SDM-nya (rakyat) sebagai pelaksana pembangunan.
Tentu saja di sini pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang berdasarkan moralitas (beragama, bermasyarakat, dan bernegara). Atau kini lebih tren dengan istilah pendidikan berbasis karakter (character building). Pendidikan harus mampu menghadirkan kebermaknaan pembelajaran. Yang meliputi substansi isi pembelajaran, kecakapan/keahlian, dan pendayagunaan kemanfaatan yang didasarkan pada pembentukan karakter atau moralitas peserta didik. Tentu saja dengan bertumpu pada fitrah setiap manusia yang memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan tetap mengembangkan setiap kecerdasan peserta didik yang berbeda-beda (kecerdasan majemuk).
Hal itu mengingat, bahwa sebenarnya negeri ini tidak kekurangan orang pintar. Cuma, Indonesia tidak membutuhkan orang pintar tapi bermental korup. Orang pintar yang hanya minteri bangsanya sendiri. Hal itu diperparah lagi dengan adanya berbagai polemik yang krusial. Untuk itu, diperlukan sebuah kebijakan baru untuk menyetting ulang carut marut dunia pendidikan ini.
Pertama, komersialisasi pendidikan yang menyebabkan biaya pendidikan kian mahal dengan label Badan Hukum Milik Negara (BHMN) di perguruan tinggi, dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) ataupun Sekolah Berstandar Internasional (SBI) di SD, SMP, dan SMA. Jer Basuki Mawa Beya, samubarang gegayuhan mbutuhake wragat/biaya, pengorbanan, pun menjadi sebuah jawaban dari berbagai pertanyaan yang menggugat. Namun, kenyataan di lapangan biaya tinggi tersebut masih belum menjadi jaminan peningkatan mutu pendidikan.
Di perguruan tinggi, berbagai jalur penerimaan mahasiswa dibuka selebar-lebarnya guna mampu menampung apresiasi tinggi dari masyarakat yang ingin menguliahkan anak-anaknya. Tapi, hanya sekitar 20%−40% dari penerimaan mahasiswa baru yang memang atas dasar kompetensinya. Sisanya, diisi karena kemampuan finansialnya.
Di RSBI/SBI, pemahaman akan kelengkapan sarana, prasarana, dan fasilitas yang mewah serta bahasa asing (Inggris) sebagai bahasa pengantar pembelajaran merupakan kunci sukses pencapaian mutu pendidikan. Mutu dan kesiapan tenaga pendidiknya? Program guru RSBI/SBI baru dibuka sekitar dua tahun terakhir ini di berbagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Malah, di berbagai daerah perekrutan tenaga pendidik diwarnai dengan praktik KKN. Jadi, tidak salah bila banyak muncul penilaian bahwa RSBI/SBI yang ada sekarang dengan high cost itu masih belum efektif, cenderung dipaksakan.
Lalu mengalir kemanakah penggelontoran dana pendidikan yang sebesar 20% dari APBN itu? Ini merupakan tantangan yang dapat dijadikan sebuah prioritas penyelesaian khususnya bagi Mendiknas baru, M. Nuh, untuk memperbaiki pengalokasian dan pengawasan dana pendidikan tersebut. Salah satunya, alokasi dana untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan program-program yang benar-benar berkontribusi di sekolah harus lebih besar porsinya dibandingkan dengan alokasi dana penghasilan guru dan dosen. Tak kalah pentingnya, pemerintah melalui kewenangannya (Mendiknas) lebih memperketat pengawasan penyelenggaraan mutu pendidikan di berbagai tingkat pendidikan (PT, SMA, SMP, SD baik swasta maupun negeri) baik di pusat maupun daerah.
Kedua, adanya kecenderungan penghargaan lebih tinggi terhadap orang “politik” daripada orang “pintar”, akibatnya banyak orang pintar negeri ini yang lebih memilih berlabuh ke negara lain. Tak salah bila di negeri ini, orang yang dipakai bukan karena kepandaian atau kompetensinya. Tetapi karena kecakapan bicara/vocal dan kedekatan politis. Solusinya, dibutuhkan cara pandang baru terkait kinerja di negeri ini yang harus dititikberatkan dan disesuaikan dengan kompetensi atau kecakapan seseorang. Dan, dibutuhkan suatu pendidikan yang mampu menanamkan dan memupuk rasa nasionalisme dan cinta tanah air para peserta didik.
Ketiga, pendidikan di Indonesia memiliki kecenderungan untuk lebih mengutamakan pencapaian konsep keluasan daripada kedalaman lingkup pembelajaran yang diberikan.Sebagai sebuah contoh kecil adalah pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD) kelas 1—3 telah disajikan dengan beragam mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS). Walaupun beberapa mata pelajaran itu bersifat dasar dan sederhana tetapi dengan beragam mata pelajaran bagi anak SD dengan tingkat usia, perkembangan psikologis, dan perkembangan intelektual sedemikian dapat mengkondisikan pencapaian yang kurang optimal. Siswa dituntut untuk menguasai berbagai hal sekaligus. Aspek keluasan dalam pembelajaran memang mampu diraih tetapi dengan konsekuensi aspek kedalaman menjadi samar.
Hal ini sejalan dengan sebuah survey yang pernah dilakukan yang mengatakan bahwa tingkat kecerdasan anak usia SD di Indonesia adalah lebih tinggi daripada tingkat kecerdasan anak usia sama di negara maju seperti Inggris. Kecerdasan yang dimaksudkan di sini adalah tingkat peguasaan atau keluasan wawasan. Di negara maju seperti di Inggris, anak usia SD hanya mengikuti pembelajaran yang lebih sederhana dan terfokus. Artinya, anak usia SD (khususnya kelas 1—3) hanya diberikan pembelaran membaca, menulis, berhitung, dengan konsep bermain. Walaupun negara kita lebih unggul dalam pencapaian keluasan pembelajaran, ternyata fakta lebih berpihak bahwa kualitas pendidikan khususnya terkait masalah SDM di Indonesia ternyata masih kalah jauh bersaing dengan negara maju seperti Inggris.
Pencapaian tujuan pembelajaran yang memiliki kecenderungan pada aspek keluasan daripada kedalaman pun tidak hanya berlaku di tingkat SD. Jenjang SMP dan SMA pun tak jauh berbeda dalam penerapannya, walaupun di SMA telah dilakukan penjurusan. Sebuah jawaban pun ditawarkan bahwa penguasaan keahlian/praktis dapat diperoleh dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Sungguh ironis sekali bila dalam perguruan tinggi yang sudah dispesialisasikan pada suatu disiplin ilmu atau bidang tertentu masih ditemukan kerancuan pelaksanaan antara pencapaian aspek kedalaman dan keluasan lingkup materi. Praktek pendidikan seperti inilah yang seharusnya digeser dengan penciptaan paradigma dan operasionalitas baru. Di era sekarang ini kita harus membuka mata bahwa aspek kedalaman lebih diutamakan daripada aspek keluasan dalam pembelajaran. Dengan konsep kedalaman dalam pembelajaran maka sesuatu hal itu mampu dicapai secara optimal dengan tingkat kompetensi dan penguasaan yang lebih baik. Pendidikan yang lebih mengutamakan pencapaian aspek keluasan telah terbukti hanya berada di ranah permukaan, hasilnya dapat ditebak hanya sebatas hafalan dan pemahaman konsep.
Penciptaan paradigma dan operasionalitas baru dengan menggeser stereotip konsep keluasan dengan konsep kedalaman dalam pembelajaran merupakan suatu langkah revolusi pendidikan di negeri ini. Kesadaran tentang konsep kedalaman dalam pembelajaran harus dtanamkan karena dengan pencapaian konsep kedalaman pembelajaran inilah maka penguasaan akan lebih optimal dan terfokus baik secara teori maupun praktik yang sangat dibutuhkan SDM kita di era persaingan dan spesialisasi seperti sekarang ini.
Suatu tantangan besar yang perlu dijawab dengan tindakan berani dan pemikiran yang berjiwa besar. Memang di HUT ke-65 RI ini, kita sudah mengalami berbagai kemajuan. Tidak diingkari bahwa bangsa ini tidak sedang di titik nol tanpa kemajuan sama sekali. Hanya pembangunan yang menjadi cita-cita proklamasi tersebut belum dapat dinikmati seutuhnya oleh semua elemen masyarakat negeri ini. Indikasinya karena belum optimalnya peran SDM kita dalam mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan yang berkelanjutan baik material maupun spiritual.
Mempelajari sejarah memang penting, tetapi menciptakan sebuah sejarah lebih penting. Semoga dengan momen peringatan HUT ke-65 RI ini, kita sebagai bagian dari (rakyat) Indonesia dapat bersatu untuk memajukan bangsa dan negara melalui pencapaian cita-cita proklamasi. Melakukan yang terbaik sesuai bidang masing-masing. Khususnya pembangunan/peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan kualitas pendidikan.

Tidak ada komentar: