“… Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita….” (Ki Hajar Dewantara)
Afiliasi Pendidikan Berbasis Karakter bagi Capaian Masa Depan yang Lebih Baik
Oleh
Dian Komalasari
Maret 2011
Pendidikan berbasis karakter (di sekolah) didasarkan pada suatu kebutuhan akan perkembangan zaman. Fakta mengatakan bahwa hidup di era globalisasi saat ini tidak hanya memerlukan aspek intelektual. Lebih dari itu, dibutuhkan adanya sebuah pilar dan kemudi kehidupan berbangsa dan bernegara. Yakni, karakter. Karakter inilah yang akan melandasi setiap sikap dan perbuatan seseorang dalam implementasi intelektualnya. Cakupan individu membentuk di dalam kehidupan bermasyarakat yang keberlanjutannya tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana realita telah memberikan gambaran keprihatinan bahwa sebenarnya Indonesia, negara kita tercinta ini, tidak kekurangan orang yang berkompeten, pintar (ahli di bidangnya).
Tapi, mereka menggunakan keunggulan tersebut bukan untuk memajukan bangsa sendiri. Banyak diantara mereka yang mengabdi di negara asing dengan tawaran pemerolehan nilai kehidupan yang lebih menggiurkan. Alasan kurangnya perhatian dan penghargaan di negeri ini bagi para ahli, ilmuwan, ataupun orang yang berkompeten menjadi salah satu pembenaran. Di sini, berlaku hukum bahwa seseorang yang kurang ahli atau kurang berkompeten akan sangat luar biasa karir dan sepak terjangnya bila memiliki kedekatan politis—loyalitas berpamrih. Rasa nasionalisme pun kiranya hanya menjadi isapan jempol. Parahnya, ada yang menggunakan keunggulan tersebut untuk “minteri” bangsanya sendiri. Salah satu contoh ialah praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Malahan, budaya KKN telah menjadi sebuah kebanggaan karena tidak semua orang bisa dan mampu melakukan. Sebuah gubahan stereotip pun didengungkan bahwa praktik korupsi merupakan tindak kejahatan bila dilakukan secara perorangan. Bila dilakuykan secara bersama-sama melalui sebuah konspirasi, korupsi bukan lagi tindak kejahatan. Kian tinggi pendidikan, jabatan, dan kompetensi seseorang—kian luar biasa strategi KKN-nya agar tak mudah diidentifikasi.
Entahlah? Mungkin kita patut berpikir kembali akan dongeng "Si Kancil Mencuri Timun" yang kerap mampir di telinga kita sebagai salah satu cerita favorit pengantar tidur sewaktu kecil. Di usia dini, kita sudah dicekoki sebuah representasi Si Kancil yang memanfaatkan kecerdikannya dalam mengelabui seorang petani untuk hasrat mencuri timun. Bila tanpa disertai pemberian pengertian atau pemahaman sebagai katarsis sebuah cerita (oleh orang tua), tentu di usia yang belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk (3—5 tahun), seolah perilaku Si Kancil itu bukanlah sesuatu yang salah. Kini—ketika menjadi seseorang yang memiliki kewenangan (baca: pejabat), pun cerita "Si Kancil Mencuri Timun" teraplikasi dalam praktik mencuri uang rakyat atau uang negara. Ketimpangan antara tingkat intelektualitas dan moralitas inilah yang coba diselaraskan dengan sebuah konsep pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan berbasis karakter (PBK).
Berdasarkan hasil penelitian—menurut Daniel Goelman—dinyatakan bahwa kecerdasan IQ (intelligence quotient) menentukan sukses seseorang sebesar 20%. Sedangkan, kecerdasan emosional (emotional quotient) memberikan kontribusi 80% bersamaan dengan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Artinya, konsep dasar pendidikan haruslah meliputi penanaman dan pengembangan capaian olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa secara holistik (menyeluruh) dalam satu kesatuan. Bila sebelumnya praktik pendidikan di sekolah-sekolah memiliki kecenderungan berorientasi pada aspek pengembangan intelektual saja, maka diperlukan paradigma baru sebagai langkah perbaikan dengan raihan ketiga kecerdasan (IQ, SQ, EQ) bagi anak didik secara selaras. Kenapa harus di sekolah? Sekolah merupakan salah satu tempat "pencetak" generasi mendatang yang penuh harapan. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan kualitas SDM-nya. Kualitas SDM sendiri sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan pentingnya sinergi orang tua (lingkungan pendidikan keluarga), masyarakat, stakeholder/pemerintah, dan media massa.
Sekadar mengutip pernyataan Mendiknas, Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA, saat serah terima jabatan dengan Mendiknas lama, Prof. Dr. Bambang Sudiyo, MBA, pada 22 Oktober 2009, “Mari kita jadikan sekolah sebagai bagian membangun karakter. Memang urusan sekolah itu urusan yang sangat berbeda dengan urusan buat mobil. Kalau pembuatan mobil prosesnya reversible atau bisa diulang. Bila ada mobil yang cacat dalam pembuatan dan terlanjur dilempar ke pasaran, maka mobil tersebut bisa ditarik dan diperbaiki lagi. Tapi, begitu urusan sekolah itu prosesnya irreversible atau tak bisa diulang. Bila kita ada kesalahan dalam mendidik anak atau putra-putri kita, begitu mereka diluluskan, mereka tak mungkin lagi ditarik ke kelas untuk ‘diperbaiki.’
Mengingat betapa pentingnya PBK, kini PBK telah menjadi salah satu prioritas dalam program pendidikan nasional. Bahkan, sedang giat-giatnya disosialisasikan melalui berbagai kegiatan seminar, lokakarya, dan pengintegrasian ke dalam kurikulum di setiap satuan pelajaran. Implementasi yang langsung diintegrasikan di setiap satuan pelajaran mengandung maksud bila berdiri sendiri akan kurang sinkron dalam penerapan dan pencapaian lifeskill. Disamping itu, beban satuan pelajaran yang sudah cukup kompleks menjadi salah satu bahan pertimbangan.
Pendidikan karakter tak sebatas pada hal-hal yang menyangkut kesantunan. Tapi, mencakup pelibatan intellectual curiosity, kreativitas-inovasi, kejujuran, kedisiplinan, kepedulian, kerja sama, nasionalisme-cinta tanah air, dan karakter positif lainnya. Tentu saja penguasaan lifeskill menjadi sasaran utama. Dimana, siswa dituntut untuk bisa apa dan bukan hanya sekadar tahu apa. Cakupan sasaran penilaian aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik menjadi bagian di dalamnya.
PBK tidak memerlukan sarana istimewa, melainkan cukup dengan penghadiran keteladanan dari pimpinan dan guru, penguatan sandaran nilai-nilai kemuliaan hidup sebagai acuan karakter, perwujudan konsistensi pelaksanaan (proses pembudayaan dan pemberdayaan). Selain itu, penerapan PBK bukanlah hal yang sulit. Mengingat (baca: PBK oleh Najib Sulhan) konsep pendidikan pada hakikatnya bertumpu pada sifat dasar manusia yang berlandaskan pada tiga pilar utama. Pertama, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (memiliki kecenderungan berbuat baik). Kedua, setiap anak memiliki kecerdasan—sebagaimana 9 kecerdasan menurut Howard Gardner—kecerdasan spiritual, linguistik/bahasa, logis-matematis, visual-spasial, kinestetik/jasmaniah, musikal, intrapersonal/memahami diri sendiri, interpersonal/sosial, natural/lingkungan alam. Ketiga, setiap aktivitas memiliki tujuan atau kebermaknaan pembelajaran.
Di sekolah, penerapan PBK secara sederhana salah satunya dimotori oleh adanya kantin kejujuran (kajur). Tingkat kejujuran semua warga sekolah yang memanfaatkan fasilitas kajur itupun coba dipertaruhkan. Tentu, antara sekolah satu dengan yang lain, berbeda penerapan dan tingkat keberhasilan. Salah satu indikator positif ialah kalau kajur tersebut masih tetap survive—dengan omset tetap atau lebih meningkat—berarti nilai atau tingkat kejujuran warga di sekolah tersebut dapat dikatakan cukup baik. Bila tingkat kejujurannya ingin dikatakan baik atau pun sangat baik, maka pimpinan dan guru sebagai sosok keteladanan (dalam penetapan regulasi dan pengelolaan dana sekolah) ataupun siswa (dalam praktik keseharian dan pelaksanaan ujian) harus terbebas dari praktik kecurangan atau penyelewengan.
Sebut saja di pihak pimpinan dan guru melalui keteladanan budaya antikorupsi. Diharapkan tak ada lagi tersiar kabar seorang pemangku kebijakan di sekolah harus menghadapai tuntutan hukum di pengadilan perihal penyelewengan pengelolaan dana sekolah. Misal, praktik mark up (penggelembungan) anggaran ataupun pemalsuan pendanaan sebuah program atau kegiatan fiktif tanpa realisasi. Bahkan, ada yang tanpa rasa malu harus mendekam di hotel prodeo—penjara. Dalam hal ini, pemerintah telah menunjukkan apresiasi positif di dunia pendidikan disamping melakukan berbagai langkah perbaikan mutu dan kualitas, pun kucuran deras pendanaan semisal bantuan operasional sekolah dari pemerintah pusat (BOS), bantuan operasional pemerintah daerah (Bopda), dan bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) terus direalisasikan. Namun, sangat disayangkan bila praktiknya banyak terjadi kebocoran dan penyelewengan. Sebuah keprihatinan yang luar biasa, sekolah sebagai salah satu tempat mendidik dan membelajarkan generasi mendatang—penerus bangsa, kenapa harus dijadikan ladang korupsi? Ujung-ujungnya pengkambinghitaman ranah sistem. Bukan sesuatu yang bijak bila kita sebatas menyalahkan sistem untuk membenarkan praktik kebocoran dan penyelewengan. Toh, sistem itu sendiri diciptakan, dikelola, dan dijalankan oleh kita sebagai pelakunya. Memang dibutuhkan kesadaran sebagai bangsa yang mengaku beradab, berbudaya, dan beragama—kita kurang memiliki budaya malu, budaya meminta maaf, budaya berterima kasih, serta beribadah hanya sebatas ritual atau rutinitas tanpa kebermaknaan dalam capaian nilai-nilai kehidupan.
Di sisi lain—siswa, bukanlah sebuah khayalan kalau ketika ujian tidak perlu lagi keberadaan seorang "pengawas". Pun nilai atau tingkat kejujuran warga di sekolah tersebut (pimpinan, guru, dan siswa) layak diacungi dua jempol. Di samping itu, bila PBK telah tertanam kuat tentu kasus perkelahian dan tawuran antarpelajar tak akan lagi terjadi. Keberlanjutannya ialah terciptanya lingkungan belajar yang kondusif dan representatif.
Betapa besarnya manfaat afiliasi PBK bagi capaian masa depan yang lebih baik. Utamanya, anak didik kita yang akan memegang kemudi bangsa ini kedepannya. Adakah alasan untuk menunda atau pun tidak menerapkan PBK dalam setiap pembelajaran di sekolah?
Secercah harapan terhatur atas nama impian. Hanya dengan kerja keras dan optimisme, semua akan diraih. Salam.
It's Show Time!
Senin, 07 Mei 2012
Selasa, 17 Januari 2012
Guru: Bukan Lagi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
24 nov 2010
(Peringatan Hari Guru, 25 November 2010)
Guru: Bukan Lagi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Berbicara tentang profesi guru tidak dapat dipisahkan dengan representasi akan sebuah julukan yang telah tersematkan sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa.” Mengapa guru yang tidak ikut berduel dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah memperoleh julukan pahlawan? Ditambah embel-embel tanpa tanda jasa pula?!
Bahkan, entah disengaja atau hanya sekadar kebetulan, Hari Guru dan Hari Pahlawan pun sama-sama diperingati di bulan November. Jika Hari Pahlawan jatuh pada 10 November, maka selisih 15 hari kemudian, 25 November, diperingati sebagai Hari Guru. Untuk tahun ini, diperingati tepatnya besok, Kamis Pahing.
Mungkin ada diantara kita yang bertanya, ini peringatan Hari Guru yang ke-berapa? Sejak kapan guru punya hari jadi, sedangkan profesi lain belum ada kecuali buruh?
Terlepas dari itu semua, kata pahlawan mengandung maksud akan seorang sosok yang rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Hari Pahlawan yang setiap tahun diperingati pada 10 November merupakan sebuah nukilan dari peristiwa sejarah bangsa ini dalam mempertahankan kemerdekaan khususnya pertempuran di Surabaya dari agresi militer Belanda. Para pahlawan dalam hal ini pejuang rela mengorbankan jiwa dan raga demi bangsa ini. Sebuah pengorbanan yang luar biasa atas nama nasionalisme.
Zaman berganti dan era pun berubah. Kini, bukan lagi merebut dan mempertahankan, tetapi bagaimana mengisi kemerdekaan. Dan bukan hal muluk untuk dikemukakan bahwa guru menjadi salah satu subjeknya.
Kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). Bila kualitas SDMnya luar biasa, maka suatu negara pun akan mengalami kemajuan yang luar biasa. Fakta membuktikan bahwa suatu negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA) dan memiliki jumlah penduduk yang besar tetapi tidak dibarengi dengan kualitas SDM yang mumpuni tidak akan berdaya guna secara optimal bagi kemajuan negeri tersebut. Tentu bukan rahasia lagi bahwa negara kita kaya akan SDA dan memiliki jumlah penduduk yang besar, tetapi kita harus cukup bangga dengan hanya berstatus sebagai negara berkembang. Kata orang, negara berkembang itu untuk memberikan penghalusan nilai rasa bahasa dari sebuah sebutan sebagai negara miskin.
Hal itu berbeda dengan negara-negara yang berstatus sebagai negara maju. Ambillah seperti Jepang ataupun Jerman. Keduanya, untuk kategori kekayaan SDA dan jumlah penduduk sangatlah jauh di bawah Indonesia. Tetapi mereka dapat keluar sebagai juara, karena memang kualitas SDM yang luar biasa.
Bila dirunut kembali, kualitas SDM tersebut sangatlah bergantung pada kualitas pendidikan. Dengan kualitas pendidikan yang baik, dapat dicetak SDM yang unggul. Tentu saja pendidikan yang dimaksudkan tidak hanya bertumpu pada aspek intelektual saja. Tetapi juga meliputi pembangunan karakter peserta didik. Sebagaimana kini telah menjadi Program Nasional Pendidikan Berbasis Karakter. Percuma bila hanya sekadar pintar tetapi tidak diimbangi dengan aspek moralitas/karakter yang kuat. Hasilnya, akan terjadi penyimpangan dan penyalahguanaan seperti maraknya praktik KKN di negeri ini.
Dan guru menjadi salah satu elemen penting untuk tercapainya kualitas pendidikan sesuai dengan yang dicita-citakan, disamping elemen lain, seperti keluarga, masyarakat/swasta, dan pemerintah. Hal itu mengingat, guru menjadi ujung tombak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya melalui kegiatan pembelajaran di sekolah. Besarnya tanggung jawab yang diemban guru inilah yang menjadi landasan penyematan gelar pahlawan.
Tetapi tanggung jawab besar yang ada dipundak para guru tersebut tidak dibarengi dengan sebuah tingkat kelayakan hidup. Melihat tingkat kesejahteraan guru yang pas-pasan dan bahkan di bawah standar menjadi sebuah pembenaran untuk menambahkan kata “tanpa tanda jasa” di belakangnya.
Bahkan, seniman sekelas Iwan Fals pun tersentuh atas keprihatinan nasib guru dengan menuangkannya dalam sebuah syair lagu “Umar Bakrie”. Sarat kesederhanaan yang mengarah kepada ketidakmampuan.
Tak ayal, para guru tersebut tidak dapat menggantungkan sumber pendapatan dari kegiatan mengajar saja. Kerja sampingan menjadi pilihan, baik itu menjadi tukang ojek, pedagang, ataupun lainnya. Bahkan, di salah satu serial acara Kick Andi yang tayang di Metro TV pernah mengisahkan seorang guru yang nyambi sebagai seorang pemulung. Masalahnya, bagaimana mungkin seorang guru mampu menciptakan pembelajaran yang sarat inovasi dan kreativitas apabila untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya saja sudah kesulitan? Kapan kualitas pendidikan kita akan membaik? Kapan kualitas SDM kita akan meningkat? Kapan negara kita ini akan maju? Sederetan pertanyaan pun akan segera bermunculan untuk segera mencari sebuah solusi.
Namun, kini perubahan besar telah dicapai profesi guru, khususnya dalam hal perbaikan nasibnya. Tentu perbaikan tersebut akan diimbangi dengan peningkatan kualitas/mutu kompetensi para guru. Yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kualitas SDM.
Pemerintah sebagai pemegang regulasi pun menawarkan sebuah solusi. Disamping memperbaiki sistem pendidikan (kurikulum) dan meningkatkan sarana prasarana pendidikan, pemerintah pun berusaha memperbaiki kualitas/mutu guru dan meningkatkan kesejahteraan guru. Sebagaimana ditetapkan melalui sebuah peraturan Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Realisasinya meliputi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD (untuk program BOS/BOPDA) agar terciptanya pendidikan yang murah dan terjangkau; dan program sertifikasi guru (dengan memperbaiki kualitas/mutu kompetensi guru dengan berbagai pelatihan, lokakarya, ataupun beasiswa studi, serta memperbaiki tingkat kesejahteraan guru khususnya dengan memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji disamping tunjangan lain seperti tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi). Program sertifikasi inipun memberikan peluang yang sama dalam proses penjaringannya bagi setiap guru baik yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) maupun yang belum PNS dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Di sini, konsep yang coba ditawarkan sangatlah sederhana bahwa kini guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa. Dimana pada dasarnya, seseorang disebut sebagai pahlawan memang karena dalam melakukan sesuatu itu tanpa mengharapkan imbalan jasa atau pamrih.
Kalau boleh kita menilik ke belakang, untuk melihat perbaikan/peningkatan yang dicapai oleh profesi guru. Dulu, pertama dari segi apresiasi masyarakat, peminat untuk menjadi seorang guru sangat minim. Bahkan, profesi guru menjadi pilihan terakhir. Tak heran, perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga pendidik/kependidikan masih dipandang sebelah mata (semacam Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Walaupun di dalam pergaulan bermasyarakat, profesi seorang guru memiliki citra yang positif baik sebagai subjek pertimbangan ataupun sosok yang bersahaja; kedua dari segi kesejahteraan, profesi guru identik dengan gaji kecil; ketiga dari segi organisasi dan perundangan, profesi guru dinaungi oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai suatu wadah yang menampung dan menyuarakan aspirasi guru. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi guru (dan dosen) belum ada.
Sekarang, dari segi apresiasi masyarakat terjadi perubahan yang luar biasa. Peminat guru meningkat drastis. Perguruan tinggi semacam LPTK kini kian menaikkan standar lulusan didalam proses seleksinya. Dan guru menjadi profesi yang dipilih bukan karena tiada pilihan lagi. Tingkat kewibawaan dan kesahajaan guru pun ikut terdongkrak naik; dari segi kesejahteraan, guru bukan lagi profesi yang bergaji kecil atau profesi dengan gaya hidup ekonomi sulit. Melalui program sertifikasi guru salah satu poinnya adalah meningkatkan kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Dengan sendirinya, taraf hidup dan status sosial guru meningkat. Kalau dulu Umar Bakrie, maka kini kiranya guru lebih pantas dengan sebutan Abu Rizal Bakrie. Sama-sama Bakrienya, tetapi status sosialnya sangat jauh berbeda; dari segi organisasi dan perundangan, kini guru tidak hanya memiliki PGRI sebagai wadah/induk organisasinya. Tetapi juga telah berdiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), bahkan pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan khusus tentang guru dan dosen yakni, Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Soal penghargaan/tanda jasa, seolah tidak kalah dengan para pejuang, guru pun memilikinya. Penghargaan/tanda jasa yang dapat diberikan kepada seorang guru (dengan status PNS, berdasarkan Keppres Nomor 25/1994) diantaranya : Satyalancana Karya Satya Sepuluh Tahun berwarna perunggu bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 10 tahun; Satyalancana Karya Satya Dua Puluh Tahun berwarna perak bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 20 tahun; Satyalancana Karya Satya Tiga Puluh Tahun berwarna emas bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 30 tahun
Kiranya apresiasi/penghargaan yang diterima guru kini sudah luar biasa bila dibandingkan masa-masa sebelumnya. Meskipun, di beberapa daerah masih ada yang menyuarakan tentang keprihatinan nasib beberapa guru. Tetapi secara umum, patut diakui bahwa telah terjadi perbaikan, peningkatan, dan apresiasi yang positif terhadap profesi seorang guru. Bahkan, tidak kalah dengan seorang pejuang. Dan tidak menutup kemungkinan akan ada penilaian yang mengatakan bahwa lebih baik kondisi guru daripada seorang pejuang/veteran khususnya saat ini bila dilihat dari tingkat kesejahteraan, serta representasi organisasi dan perundang-undangan.
Tentu saja, para guru tidak akan mau bila dikatakan sebagai orang yang tidak tahu terima kasih atas berbagai rujukan perbaikan, peningkatan, dan apresiasi yang diterima saat ini. Maka tidak ada salahnya bila sebutan sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa” diharapkan untuk mulai ditanggalkan. Bukan untuk maksud yang wah, neko-neko, atau sekadar cari sensasi. Tetapi lebih kepada sebuah umpan balik dan rasa terima kasih guru atas segala apresiasi positif yang telah diberikan selama ini.
Tetapi bila sebutan “Pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut menyandang joke bahwa sampai saat ini ada satu hal yang masih belum bisa dicapai guru bila ingin menyamai seorang pejuang/veteran dan sebagai alasan susahnya menanggalkan embel-embel ‘tanpa tanda jasa’ adalah bila meninggal belum atau tidak dimakamkan di taman makam pahlawan, hehe…, maka semuanya bergantung dari sisi mana kita melihat. Salam.
(Peringatan Hari Guru, 25 November 2010)
Guru: Bukan Lagi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Berbicara tentang profesi guru tidak dapat dipisahkan dengan representasi akan sebuah julukan yang telah tersematkan sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa.” Mengapa guru yang tidak ikut berduel dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah memperoleh julukan pahlawan? Ditambah embel-embel tanpa tanda jasa pula?!
Bahkan, entah disengaja atau hanya sekadar kebetulan, Hari Guru dan Hari Pahlawan pun sama-sama diperingati di bulan November. Jika Hari Pahlawan jatuh pada 10 November, maka selisih 15 hari kemudian, 25 November, diperingati sebagai Hari Guru. Untuk tahun ini, diperingati tepatnya besok, Kamis Pahing.
Mungkin ada diantara kita yang bertanya, ini peringatan Hari Guru yang ke-berapa? Sejak kapan guru punya hari jadi, sedangkan profesi lain belum ada kecuali buruh?
Terlepas dari itu semua, kata pahlawan mengandung maksud akan seorang sosok yang rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Hari Pahlawan yang setiap tahun diperingati pada 10 November merupakan sebuah nukilan dari peristiwa sejarah bangsa ini dalam mempertahankan kemerdekaan khususnya pertempuran di Surabaya dari agresi militer Belanda. Para pahlawan dalam hal ini pejuang rela mengorbankan jiwa dan raga demi bangsa ini. Sebuah pengorbanan yang luar biasa atas nama nasionalisme.
Zaman berganti dan era pun berubah. Kini, bukan lagi merebut dan mempertahankan, tetapi bagaimana mengisi kemerdekaan. Dan bukan hal muluk untuk dikemukakan bahwa guru menjadi salah satu subjeknya.
Kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). Bila kualitas SDMnya luar biasa, maka suatu negara pun akan mengalami kemajuan yang luar biasa. Fakta membuktikan bahwa suatu negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA) dan memiliki jumlah penduduk yang besar tetapi tidak dibarengi dengan kualitas SDM yang mumpuni tidak akan berdaya guna secara optimal bagi kemajuan negeri tersebut. Tentu bukan rahasia lagi bahwa negara kita kaya akan SDA dan memiliki jumlah penduduk yang besar, tetapi kita harus cukup bangga dengan hanya berstatus sebagai negara berkembang. Kata orang, negara berkembang itu untuk memberikan penghalusan nilai rasa bahasa dari sebuah sebutan sebagai negara miskin.
Hal itu berbeda dengan negara-negara yang berstatus sebagai negara maju. Ambillah seperti Jepang ataupun Jerman. Keduanya, untuk kategori kekayaan SDA dan jumlah penduduk sangatlah jauh di bawah Indonesia. Tetapi mereka dapat keluar sebagai juara, karena memang kualitas SDM yang luar biasa.
Bila dirunut kembali, kualitas SDM tersebut sangatlah bergantung pada kualitas pendidikan. Dengan kualitas pendidikan yang baik, dapat dicetak SDM yang unggul. Tentu saja pendidikan yang dimaksudkan tidak hanya bertumpu pada aspek intelektual saja. Tetapi juga meliputi pembangunan karakter peserta didik. Sebagaimana kini telah menjadi Program Nasional Pendidikan Berbasis Karakter. Percuma bila hanya sekadar pintar tetapi tidak diimbangi dengan aspek moralitas/karakter yang kuat. Hasilnya, akan terjadi penyimpangan dan penyalahguanaan seperti maraknya praktik KKN di negeri ini.
Dan guru menjadi salah satu elemen penting untuk tercapainya kualitas pendidikan sesuai dengan yang dicita-citakan, disamping elemen lain, seperti keluarga, masyarakat/swasta, dan pemerintah. Hal itu mengingat, guru menjadi ujung tombak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya melalui kegiatan pembelajaran di sekolah. Besarnya tanggung jawab yang diemban guru inilah yang menjadi landasan penyematan gelar pahlawan.
Tetapi tanggung jawab besar yang ada dipundak para guru tersebut tidak dibarengi dengan sebuah tingkat kelayakan hidup. Melihat tingkat kesejahteraan guru yang pas-pasan dan bahkan di bawah standar menjadi sebuah pembenaran untuk menambahkan kata “tanpa tanda jasa” di belakangnya.
Bahkan, seniman sekelas Iwan Fals pun tersentuh atas keprihatinan nasib guru dengan menuangkannya dalam sebuah syair lagu “Umar Bakrie”. Sarat kesederhanaan yang mengarah kepada ketidakmampuan.
Tak ayal, para guru tersebut tidak dapat menggantungkan sumber pendapatan dari kegiatan mengajar saja. Kerja sampingan menjadi pilihan, baik itu menjadi tukang ojek, pedagang, ataupun lainnya. Bahkan, di salah satu serial acara Kick Andi yang tayang di Metro TV pernah mengisahkan seorang guru yang nyambi sebagai seorang pemulung. Masalahnya, bagaimana mungkin seorang guru mampu menciptakan pembelajaran yang sarat inovasi dan kreativitas apabila untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya saja sudah kesulitan? Kapan kualitas pendidikan kita akan membaik? Kapan kualitas SDM kita akan meningkat? Kapan negara kita ini akan maju? Sederetan pertanyaan pun akan segera bermunculan untuk segera mencari sebuah solusi.
Namun, kini perubahan besar telah dicapai profesi guru, khususnya dalam hal perbaikan nasibnya. Tentu perbaikan tersebut akan diimbangi dengan peningkatan kualitas/mutu kompetensi para guru. Yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kualitas SDM.
Pemerintah sebagai pemegang regulasi pun menawarkan sebuah solusi. Disamping memperbaiki sistem pendidikan (kurikulum) dan meningkatkan sarana prasarana pendidikan, pemerintah pun berusaha memperbaiki kualitas/mutu guru dan meningkatkan kesejahteraan guru. Sebagaimana ditetapkan melalui sebuah peraturan Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Realisasinya meliputi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD (untuk program BOS/BOPDA) agar terciptanya pendidikan yang murah dan terjangkau; dan program sertifikasi guru (dengan memperbaiki kualitas/mutu kompetensi guru dengan berbagai pelatihan, lokakarya, ataupun beasiswa studi, serta memperbaiki tingkat kesejahteraan guru khususnya dengan memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji disamping tunjangan lain seperti tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi). Program sertifikasi inipun memberikan peluang yang sama dalam proses penjaringannya bagi setiap guru baik yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) maupun yang belum PNS dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Di sini, konsep yang coba ditawarkan sangatlah sederhana bahwa kini guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa. Dimana pada dasarnya, seseorang disebut sebagai pahlawan memang karena dalam melakukan sesuatu itu tanpa mengharapkan imbalan jasa atau pamrih.
Kalau boleh kita menilik ke belakang, untuk melihat perbaikan/peningkatan yang dicapai oleh profesi guru. Dulu, pertama dari segi apresiasi masyarakat, peminat untuk menjadi seorang guru sangat minim. Bahkan, profesi guru menjadi pilihan terakhir. Tak heran, perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga pendidik/kependidikan masih dipandang sebelah mata (semacam Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Walaupun di dalam pergaulan bermasyarakat, profesi seorang guru memiliki citra yang positif baik sebagai subjek pertimbangan ataupun sosok yang bersahaja; kedua dari segi kesejahteraan, profesi guru identik dengan gaji kecil; ketiga dari segi organisasi dan perundangan, profesi guru dinaungi oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai suatu wadah yang menampung dan menyuarakan aspirasi guru. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi guru (dan dosen) belum ada.
Sekarang, dari segi apresiasi masyarakat terjadi perubahan yang luar biasa. Peminat guru meningkat drastis. Perguruan tinggi semacam LPTK kini kian menaikkan standar lulusan didalam proses seleksinya. Dan guru menjadi profesi yang dipilih bukan karena tiada pilihan lagi. Tingkat kewibawaan dan kesahajaan guru pun ikut terdongkrak naik; dari segi kesejahteraan, guru bukan lagi profesi yang bergaji kecil atau profesi dengan gaya hidup ekonomi sulit. Melalui program sertifikasi guru salah satu poinnya adalah meningkatkan kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Dengan sendirinya, taraf hidup dan status sosial guru meningkat. Kalau dulu Umar Bakrie, maka kini kiranya guru lebih pantas dengan sebutan Abu Rizal Bakrie. Sama-sama Bakrienya, tetapi status sosialnya sangat jauh berbeda; dari segi organisasi dan perundangan, kini guru tidak hanya memiliki PGRI sebagai wadah/induk organisasinya. Tetapi juga telah berdiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), bahkan pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan khusus tentang guru dan dosen yakni, Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Soal penghargaan/tanda jasa, seolah tidak kalah dengan para pejuang, guru pun memilikinya. Penghargaan/tanda jasa yang dapat diberikan kepada seorang guru (dengan status PNS, berdasarkan Keppres Nomor 25/1994) diantaranya : Satyalancana Karya Satya Sepuluh Tahun berwarna perunggu bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 10 tahun; Satyalancana Karya Satya Dua Puluh Tahun berwarna perak bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 20 tahun; Satyalancana Karya Satya Tiga Puluh Tahun berwarna emas bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 30 tahun
Kiranya apresiasi/penghargaan yang diterima guru kini sudah luar biasa bila dibandingkan masa-masa sebelumnya. Meskipun, di beberapa daerah masih ada yang menyuarakan tentang keprihatinan nasib beberapa guru. Tetapi secara umum, patut diakui bahwa telah terjadi perbaikan, peningkatan, dan apresiasi yang positif terhadap profesi seorang guru. Bahkan, tidak kalah dengan seorang pejuang. Dan tidak menutup kemungkinan akan ada penilaian yang mengatakan bahwa lebih baik kondisi guru daripada seorang pejuang/veteran khususnya saat ini bila dilihat dari tingkat kesejahteraan, serta representasi organisasi dan perundang-undangan.
Tentu saja, para guru tidak akan mau bila dikatakan sebagai orang yang tidak tahu terima kasih atas berbagai rujukan perbaikan, peningkatan, dan apresiasi yang diterima saat ini. Maka tidak ada salahnya bila sebutan sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa” diharapkan untuk mulai ditanggalkan. Bukan untuk maksud yang wah, neko-neko, atau sekadar cari sensasi. Tetapi lebih kepada sebuah umpan balik dan rasa terima kasih guru atas segala apresiasi positif yang telah diberikan selama ini.
Tetapi bila sebutan “Pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut menyandang joke bahwa sampai saat ini ada satu hal yang masih belum bisa dicapai guru bila ingin menyamai seorang pejuang/veteran dan sebagai alasan susahnya menanggalkan embel-embel ‘tanpa tanda jasa’ adalah bila meninggal belum atau tidak dimakamkan di taman makam pahlawan, hehe…, maka semuanya bergantung dari sisi mana kita melihat. Salam.
Afiliasi Pembangunan Sumber Daya Manusia bagi Capaian Cita-Cita Proklamasi
Agustus 2010
Afiliasi Pembangunan Sumber Daya Manusia bagi Capaian Cita-Cita Proklamasi
Usia 65 tahun bukanlah usia muda lagi. Bila diumpamakan orang tentunya sudah memasuki masa tua (manula). Hakikatnya adalah masa menikmati apa yang telah diupayakan di masa mudanya. Tapi, akankah itu sejalan dengan usia sebuah negara? Dan di sini Indonesia?
Bila kita menilik sejarah, perjuangan untuk meraih kemerdekaan bangsa ini bukanlah perkara mudah. Berbagai pengorbanan dan dedikasi para Founder Father negeri ini begitu besar. Jiwa dan raga menjadi taruhan atas nama nasionalisme untuk mengusir penjajah. Lalu, apakah semuanya selesai setelah kemerdekaan dicapai?
Ternyata tidak. Perjuangan belumlah usai. Tanggung jawab besar masih menunggu di depan. Kemerdekaan hanyalah sebagai sarana untuk mencapai cita-cita proklamasi. Sebagaimana di dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa hal itu sebagai sebuah pintu gerbang untuk menciptakan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Yang direpresentasikan ke dalam tujuan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesemuanya secara otomatis belum bisa tercapai meski kemerdekaan telah di tangan. Diperlukan perjuangan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Bila di awal kemerdekaan, untuk keberlangsungan sebuah negara diantaranya segera dibentuk susunan pemerintahan, hukum dasar (UUD 1945), pergerakan mempertahankan kemerdekaan dari agresi musuh, pengusahaan diplomasi dan pencarian pengakuan kemerdekaan dari negara lain. Maka, kondisi sekarang sudah berbeda. Ibarat pondasi bangunan sudah kokoh, generasi kini dituntut untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang berkelanjutan untuk sebuah keutuhan representasi sebuah negara. Yakni, menciptakan kehidupan masyarakat yang berbangsa dan bernegara yang adil, makmur, dan sejahtera baik material maupun spiritual.
Hendaknya, benar bila kita harus bercermin dari perkataan orang bijak “Jangan bertanya tentang apa yang sudah negara berikan kepada kita. Tapi, apa yang sudah kita berikan kepada negara ini?” Itulah yang sekiranya harus ditanamkan pada semua elemen bangsa ini. Di usia yang ke 65 tahun, Indonesia seharusnya menjadi sebuah negara yang adil dan makmur seperti yang tertuang dalam cita-cita proklamasi.
Memang mengharukan bila melihat potret negeri ini yang tak seindah harapan. Peringkat pertama negara terkorup di Asia. Angka kemiskinan dan pengangguran yang kian meningkat. Hutang luar negeri yang konon katanya berkurang (IMF telah dilunasi) tapi sekadar ganti kreditur di ADB yang jumlahnya kian membengkak. Anggaran pendidikan mendapat porsi besar (20% dari APBN), tapi nyatanya biaya pendidikan kian mahal, akibatnya tak semua rakyat memiliki kesempatan mengenyam pendidikan. Masalah kelestarian lingkungan yang masih terabaikan, salah satu indikasinya rawan terjadi bencna banjir dan kekeringan. Belum lagi berbagai permasalahan lain yang begitu kompleks.
Salah siapa? Sudah tidak tepat lagi kita saling menyalahkan, bila ujung-ujungnya tanpa penyelesaian. Malah, melupakan hal pokok yang menjadi tujuan kita. Sudah lumrah di negeri ini, bila ada yang takut melaporkan sebuah tindak korupsi. Bukan rahasia lagi, kalau yang melapor bisa-bisa masuk penjara entah karena tersangkut kasus korupsi itu sendiri ataupun kasus yang lain. Kasus pun akan bergulir yang terkadang keluar dari esensi pokoknya. Ada-ada saja memang.
Jas Merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah ungkapan dari seorang tokoh founder father negeri ini, Bung Karno, presiden pertama RI. Sejarah terjadi bukan untuk dilupakan atau sebatas dikenang. Banyak hal yang bisa dipetik dari sejarah. Sejarah telah membuktikan bahwa kemajuan suatu negara sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal itu sejalan dengan salah satu cita-cita proklamasi yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa. Representasinya yakni meningkatkan kualitas dunia pendidikan baik material maupun spiritual..
Mengapa harus pendidikan? Pendidikan merupakan salah satu indikator yang sangat berpengaruh pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas Pendidikan dan SDM memberikan suatu keselerasan konsep. Semakin baik mutu pendidikan suatu negara maka akan berpengaruh kepada semakin baik pula kualitas SDM. Begitupun sebaliknya, bila kualitas pendidikan sebuah negara rendah, maka kualitas SDMnya pun rendah. SDM menjadi salah satu kekuatan/kunci penggerak untuk mencapai keberhasilan di berbagai bidang baik politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Letak Indonesia yang strategis, kekayaan alam dan budaya yang melimpah, populasi penduduk yang besar terutama di angka usia produktif merupakan beberapa representasi kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal itu menjadi modal dasar yang berharga bagi negeri ini untuk mencapai kemakmuran melalui SDM-nya (rakyat) sebagai pelaksana pembangunan.
Tentu saja di sini pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang berdasarkan moralitas (beragama, bermasyarakat, dan bernegara). Atau kini lebih tren dengan istilah pendidikan berbasis karakter (character building). Pendidikan harus mampu menghadirkan kebermaknaan pembelajaran. Yang meliputi substansi isi pembelajaran, kecakapan/keahlian, dan pendayagunaan kemanfaatan yang didasarkan pada pembentukan karakter atau moralitas peserta didik. Tentu saja dengan bertumpu pada fitrah setiap manusia yang memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan tetap mengembangkan setiap kecerdasan peserta didik yang berbeda-beda (kecerdasan majemuk).
Hal itu mengingat, bahwa sebenarnya negeri ini tidak kekurangan orang pintar. Cuma, Indonesia tidak membutuhkan orang pintar tapi bermental korup. Orang pintar yang hanya minteri bangsanya sendiri. Hal itu diperparah lagi dengan adanya berbagai polemik yang krusial. Untuk itu, diperlukan sebuah kebijakan baru untuk menyetting ulang carut marut dunia pendidikan ini.
Pertama, komersialisasi pendidikan yang menyebabkan biaya pendidikan kian mahal dengan label Badan Hukum Milik Negara (BHMN) di perguruan tinggi, dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) ataupun Sekolah Berstandar Internasional (SBI) di SD, SMP, dan SMA. Jer Basuki Mawa Beya, samubarang gegayuhan mbutuhake wragat/biaya, pengorbanan, pun menjadi sebuah jawaban dari berbagai pertanyaan yang menggugat. Namun, kenyataan di lapangan biaya tinggi tersebut masih belum menjadi jaminan peningkatan mutu pendidikan.
Di perguruan tinggi, berbagai jalur penerimaan mahasiswa dibuka selebar-lebarnya guna mampu menampung apresiasi tinggi dari masyarakat yang ingin menguliahkan anak-anaknya. Tapi, hanya sekitar 20%−40% dari penerimaan mahasiswa baru yang memang atas dasar kompetensinya. Sisanya, diisi karena kemampuan finansialnya.
Di RSBI/SBI, pemahaman akan kelengkapan sarana, prasarana, dan fasilitas yang mewah serta bahasa asing (Inggris) sebagai bahasa pengantar pembelajaran merupakan kunci sukses pencapaian mutu pendidikan. Mutu dan kesiapan tenaga pendidiknya? Program guru RSBI/SBI baru dibuka sekitar dua tahun terakhir ini di berbagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Malah, di berbagai daerah perekrutan tenaga pendidik diwarnai dengan praktik KKN. Jadi, tidak salah bila banyak muncul penilaian bahwa RSBI/SBI yang ada sekarang dengan high cost itu masih belum efektif, cenderung dipaksakan.
Lalu mengalir kemanakah penggelontoran dana pendidikan yang sebesar 20% dari APBN itu? Ini merupakan tantangan yang dapat dijadikan sebuah prioritas penyelesaian khususnya bagi Mendiknas baru, M. Nuh, untuk memperbaiki pengalokasian dan pengawasan dana pendidikan tersebut. Salah satunya, alokasi dana untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan program-program yang benar-benar berkontribusi di sekolah harus lebih besar porsinya dibandingkan dengan alokasi dana penghasilan guru dan dosen. Tak kalah pentingnya, pemerintah melalui kewenangannya (Mendiknas) lebih memperketat pengawasan penyelenggaraan mutu pendidikan di berbagai tingkat pendidikan (PT, SMA, SMP, SD baik swasta maupun negeri) baik di pusat maupun daerah.
Kedua, adanya kecenderungan penghargaan lebih tinggi terhadap orang “politik” daripada orang “pintar”, akibatnya banyak orang pintar negeri ini yang lebih memilih berlabuh ke negara lain. Tak salah bila di negeri ini, orang yang dipakai bukan karena kepandaian atau kompetensinya. Tetapi karena kecakapan bicara/vocal dan kedekatan politis. Solusinya, dibutuhkan cara pandang baru terkait kinerja di negeri ini yang harus dititikberatkan dan disesuaikan dengan kompetensi atau kecakapan seseorang. Dan, dibutuhkan suatu pendidikan yang mampu menanamkan dan memupuk rasa nasionalisme dan cinta tanah air para peserta didik.
Ketiga, pendidikan di Indonesia memiliki kecenderungan untuk lebih mengutamakan pencapaian konsep keluasan daripada kedalaman lingkup pembelajaran yang diberikan.Sebagai sebuah contoh kecil adalah pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD) kelas 1—3 telah disajikan dengan beragam mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS). Walaupun beberapa mata pelajaran itu bersifat dasar dan sederhana tetapi dengan beragam mata pelajaran bagi anak SD dengan tingkat usia, perkembangan psikologis, dan perkembangan intelektual sedemikian dapat mengkondisikan pencapaian yang kurang optimal. Siswa dituntut untuk menguasai berbagai hal sekaligus. Aspek keluasan dalam pembelajaran memang mampu diraih tetapi dengan konsekuensi aspek kedalaman menjadi samar.
Hal ini sejalan dengan sebuah survey yang pernah dilakukan yang mengatakan bahwa tingkat kecerdasan anak usia SD di Indonesia adalah lebih tinggi daripada tingkat kecerdasan anak usia sama di negara maju seperti Inggris. Kecerdasan yang dimaksudkan di sini adalah tingkat peguasaan atau keluasan wawasan. Di negara maju seperti di Inggris, anak usia SD hanya mengikuti pembelajaran yang lebih sederhana dan terfokus. Artinya, anak usia SD (khususnya kelas 1—3) hanya diberikan pembelaran membaca, menulis, berhitung, dengan konsep bermain. Walaupun negara kita lebih unggul dalam pencapaian keluasan pembelajaran, ternyata fakta lebih berpihak bahwa kualitas pendidikan khususnya terkait masalah SDM di Indonesia ternyata masih kalah jauh bersaing dengan negara maju seperti Inggris.
Pencapaian tujuan pembelajaran yang memiliki kecenderungan pada aspek keluasan daripada kedalaman pun tidak hanya berlaku di tingkat SD. Jenjang SMP dan SMA pun tak jauh berbeda dalam penerapannya, walaupun di SMA telah dilakukan penjurusan. Sebuah jawaban pun ditawarkan bahwa penguasaan keahlian/praktis dapat diperoleh dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Sungguh ironis sekali bila dalam perguruan tinggi yang sudah dispesialisasikan pada suatu disiplin ilmu atau bidang tertentu masih ditemukan kerancuan pelaksanaan antara pencapaian aspek kedalaman dan keluasan lingkup materi. Praktek pendidikan seperti inilah yang seharusnya digeser dengan penciptaan paradigma dan operasionalitas baru. Di era sekarang ini kita harus membuka mata bahwa aspek kedalaman lebih diutamakan daripada aspek keluasan dalam pembelajaran. Dengan konsep kedalaman dalam pembelajaran maka sesuatu hal itu mampu dicapai secara optimal dengan tingkat kompetensi dan penguasaan yang lebih baik. Pendidikan yang lebih mengutamakan pencapaian aspek keluasan telah terbukti hanya berada di ranah permukaan, hasilnya dapat ditebak hanya sebatas hafalan dan pemahaman konsep.
Penciptaan paradigma dan operasionalitas baru dengan menggeser stereotip konsep keluasan dengan konsep kedalaman dalam pembelajaran merupakan suatu langkah revolusi pendidikan di negeri ini. Kesadaran tentang konsep kedalaman dalam pembelajaran harus dtanamkan karena dengan pencapaian konsep kedalaman pembelajaran inilah maka penguasaan akan lebih optimal dan terfokus baik secara teori maupun praktik yang sangat dibutuhkan SDM kita di era persaingan dan spesialisasi seperti sekarang ini.
Suatu tantangan besar yang perlu dijawab dengan tindakan berani dan pemikiran yang berjiwa besar. Memang di HUT ke-65 RI ini, kita sudah mengalami berbagai kemajuan. Tidak diingkari bahwa bangsa ini tidak sedang di titik nol tanpa kemajuan sama sekali. Hanya pembangunan yang menjadi cita-cita proklamasi tersebut belum dapat dinikmati seutuhnya oleh semua elemen masyarakat negeri ini. Indikasinya karena belum optimalnya peran SDM kita dalam mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan yang berkelanjutan baik material maupun spiritual.
Mempelajari sejarah memang penting, tetapi menciptakan sebuah sejarah lebih penting. Semoga dengan momen peringatan HUT ke-65 RI ini, kita sebagai bagian dari (rakyat) Indonesia dapat bersatu untuk memajukan bangsa dan negara melalui pencapaian cita-cita proklamasi. Melakukan yang terbaik sesuai bidang masing-masing. Khususnya pembangunan/peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan kualitas pendidikan.
Afiliasi Pembangunan Sumber Daya Manusia bagi Capaian Cita-Cita Proklamasi
Usia 65 tahun bukanlah usia muda lagi. Bila diumpamakan orang tentunya sudah memasuki masa tua (manula). Hakikatnya adalah masa menikmati apa yang telah diupayakan di masa mudanya. Tapi, akankah itu sejalan dengan usia sebuah negara? Dan di sini Indonesia?
Bila kita menilik sejarah, perjuangan untuk meraih kemerdekaan bangsa ini bukanlah perkara mudah. Berbagai pengorbanan dan dedikasi para Founder Father negeri ini begitu besar. Jiwa dan raga menjadi taruhan atas nama nasionalisme untuk mengusir penjajah. Lalu, apakah semuanya selesai setelah kemerdekaan dicapai?
Ternyata tidak. Perjuangan belumlah usai. Tanggung jawab besar masih menunggu di depan. Kemerdekaan hanyalah sebagai sarana untuk mencapai cita-cita proklamasi. Sebagaimana di dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa hal itu sebagai sebuah pintu gerbang untuk menciptakan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Yang direpresentasikan ke dalam tujuan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kesemuanya secara otomatis belum bisa tercapai meski kemerdekaan telah di tangan. Diperlukan perjuangan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Bila di awal kemerdekaan, untuk keberlangsungan sebuah negara diantaranya segera dibentuk susunan pemerintahan, hukum dasar (UUD 1945), pergerakan mempertahankan kemerdekaan dari agresi musuh, pengusahaan diplomasi dan pencarian pengakuan kemerdekaan dari negara lain. Maka, kondisi sekarang sudah berbeda. Ibarat pondasi bangunan sudah kokoh, generasi kini dituntut untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang berkelanjutan untuk sebuah keutuhan representasi sebuah negara. Yakni, menciptakan kehidupan masyarakat yang berbangsa dan bernegara yang adil, makmur, dan sejahtera baik material maupun spiritual.
Hendaknya, benar bila kita harus bercermin dari perkataan orang bijak “Jangan bertanya tentang apa yang sudah negara berikan kepada kita. Tapi, apa yang sudah kita berikan kepada negara ini?” Itulah yang sekiranya harus ditanamkan pada semua elemen bangsa ini. Di usia yang ke 65 tahun, Indonesia seharusnya menjadi sebuah negara yang adil dan makmur seperti yang tertuang dalam cita-cita proklamasi.
Memang mengharukan bila melihat potret negeri ini yang tak seindah harapan. Peringkat pertama negara terkorup di Asia. Angka kemiskinan dan pengangguran yang kian meningkat. Hutang luar negeri yang konon katanya berkurang (IMF telah dilunasi) tapi sekadar ganti kreditur di ADB yang jumlahnya kian membengkak. Anggaran pendidikan mendapat porsi besar (20% dari APBN), tapi nyatanya biaya pendidikan kian mahal, akibatnya tak semua rakyat memiliki kesempatan mengenyam pendidikan. Masalah kelestarian lingkungan yang masih terabaikan, salah satu indikasinya rawan terjadi bencna banjir dan kekeringan. Belum lagi berbagai permasalahan lain yang begitu kompleks.
Salah siapa? Sudah tidak tepat lagi kita saling menyalahkan, bila ujung-ujungnya tanpa penyelesaian. Malah, melupakan hal pokok yang menjadi tujuan kita. Sudah lumrah di negeri ini, bila ada yang takut melaporkan sebuah tindak korupsi. Bukan rahasia lagi, kalau yang melapor bisa-bisa masuk penjara entah karena tersangkut kasus korupsi itu sendiri ataupun kasus yang lain. Kasus pun akan bergulir yang terkadang keluar dari esensi pokoknya. Ada-ada saja memang.
Jas Merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah ungkapan dari seorang tokoh founder father negeri ini, Bung Karno, presiden pertama RI. Sejarah terjadi bukan untuk dilupakan atau sebatas dikenang. Banyak hal yang bisa dipetik dari sejarah. Sejarah telah membuktikan bahwa kemajuan suatu negara sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal itu sejalan dengan salah satu cita-cita proklamasi yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa. Representasinya yakni meningkatkan kualitas dunia pendidikan baik material maupun spiritual..
Mengapa harus pendidikan? Pendidikan merupakan salah satu indikator yang sangat berpengaruh pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas Pendidikan dan SDM memberikan suatu keselerasan konsep. Semakin baik mutu pendidikan suatu negara maka akan berpengaruh kepada semakin baik pula kualitas SDM. Begitupun sebaliknya, bila kualitas pendidikan sebuah negara rendah, maka kualitas SDMnya pun rendah. SDM menjadi salah satu kekuatan/kunci penggerak untuk mencapai keberhasilan di berbagai bidang baik politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Letak Indonesia yang strategis, kekayaan alam dan budaya yang melimpah, populasi penduduk yang besar terutama di angka usia produktif merupakan beberapa representasi kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal itu menjadi modal dasar yang berharga bagi negeri ini untuk mencapai kemakmuran melalui SDM-nya (rakyat) sebagai pelaksana pembangunan.
Tentu saja di sini pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang berdasarkan moralitas (beragama, bermasyarakat, dan bernegara). Atau kini lebih tren dengan istilah pendidikan berbasis karakter (character building). Pendidikan harus mampu menghadirkan kebermaknaan pembelajaran. Yang meliputi substansi isi pembelajaran, kecakapan/keahlian, dan pendayagunaan kemanfaatan yang didasarkan pada pembentukan karakter atau moralitas peserta didik. Tentu saja dengan bertumpu pada fitrah setiap manusia yang memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan tetap mengembangkan setiap kecerdasan peserta didik yang berbeda-beda (kecerdasan majemuk).
Hal itu mengingat, bahwa sebenarnya negeri ini tidak kekurangan orang pintar. Cuma, Indonesia tidak membutuhkan orang pintar tapi bermental korup. Orang pintar yang hanya minteri bangsanya sendiri. Hal itu diperparah lagi dengan adanya berbagai polemik yang krusial. Untuk itu, diperlukan sebuah kebijakan baru untuk menyetting ulang carut marut dunia pendidikan ini.
Pertama, komersialisasi pendidikan yang menyebabkan biaya pendidikan kian mahal dengan label Badan Hukum Milik Negara (BHMN) di perguruan tinggi, dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) ataupun Sekolah Berstandar Internasional (SBI) di SD, SMP, dan SMA. Jer Basuki Mawa Beya, samubarang gegayuhan mbutuhake wragat/biaya, pengorbanan, pun menjadi sebuah jawaban dari berbagai pertanyaan yang menggugat. Namun, kenyataan di lapangan biaya tinggi tersebut masih belum menjadi jaminan peningkatan mutu pendidikan.
Di perguruan tinggi, berbagai jalur penerimaan mahasiswa dibuka selebar-lebarnya guna mampu menampung apresiasi tinggi dari masyarakat yang ingin menguliahkan anak-anaknya. Tapi, hanya sekitar 20%−40% dari penerimaan mahasiswa baru yang memang atas dasar kompetensinya. Sisanya, diisi karena kemampuan finansialnya.
Di RSBI/SBI, pemahaman akan kelengkapan sarana, prasarana, dan fasilitas yang mewah serta bahasa asing (Inggris) sebagai bahasa pengantar pembelajaran merupakan kunci sukses pencapaian mutu pendidikan. Mutu dan kesiapan tenaga pendidiknya? Program guru RSBI/SBI baru dibuka sekitar dua tahun terakhir ini di berbagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Malah, di berbagai daerah perekrutan tenaga pendidik diwarnai dengan praktik KKN. Jadi, tidak salah bila banyak muncul penilaian bahwa RSBI/SBI yang ada sekarang dengan high cost itu masih belum efektif, cenderung dipaksakan.
Lalu mengalir kemanakah penggelontoran dana pendidikan yang sebesar 20% dari APBN itu? Ini merupakan tantangan yang dapat dijadikan sebuah prioritas penyelesaian khususnya bagi Mendiknas baru, M. Nuh, untuk memperbaiki pengalokasian dan pengawasan dana pendidikan tersebut. Salah satunya, alokasi dana untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan program-program yang benar-benar berkontribusi di sekolah harus lebih besar porsinya dibandingkan dengan alokasi dana penghasilan guru dan dosen. Tak kalah pentingnya, pemerintah melalui kewenangannya (Mendiknas) lebih memperketat pengawasan penyelenggaraan mutu pendidikan di berbagai tingkat pendidikan (PT, SMA, SMP, SD baik swasta maupun negeri) baik di pusat maupun daerah.
Kedua, adanya kecenderungan penghargaan lebih tinggi terhadap orang “politik” daripada orang “pintar”, akibatnya banyak orang pintar negeri ini yang lebih memilih berlabuh ke negara lain. Tak salah bila di negeri ini, orang yang dipakai bukan karena kepandaian atau kompetensinya. Tetapi karena kecakapan bicara/vocal dan kedekatan politis. Solusinya, dibutuhkan cara pandang baru terkait kinerja di negeri ini yang harus dititikberatkan dan disesuaikan dengan kompetensi atau kecakapan seseorang. Dan, dibutuhkan suatu pendidikan yang mampu menanamkan dan memupuk rasa nasionalisme dan cinta tanah air para peserta didik.
Ketiga, pendidikan di Indonesia memiliki kecenderungan untuk lebih mengutamakan pencapaian konsep keluasan daripada kedalaman lingkup pembelajaran yang diberikan.Sebagai sebuah contoh kecil adalah pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD) kelas 1—3 telah disajikan dengan beragam mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS). Walaupun beberapa mata pelajaran itu bersifat dasar dan sederhana tetapi dengan beragam mata pelajaran bagi anak SD dengan tingkat usia, perkembangan psikologis, dan perkembangan intelektual sedemikian dapat mengkondisikan pencapaian yang kurang optimal. Siswa dituntut untuk menguasai berbagai hal sekaligus. Aspek keluasan dalam pembelajaran memang mampu diraih tetapi dengan konsekuensi aspek kedalaman menjadi samar.
Hal ini sejalan dengan sebuah survey yang pernah dilakukan yang mengatakan bahwa tingkat kecerdasan anak usia SD di Indonesia adalah lebih tinggi daripada tingkat kecerdasan anak usia sama di negara maju seperti Inggris. Kecerdasan yang dimaksudkan di sini adalah tingkat peguasaan atau keluasan wawasan. Di negara maju seperti di Inggris, anak usia SD hanya mengikuti pembelajaran yang lebih sederhana dan terfokus. Artinya, anak usia SD (khususnya kelas 1—3) hanya diberikan pembelaran membaca, menulis, berhitung, dengan konsep bermain. Walaupun negara kita lebih unggul dalam pencapaian keluasan pembelajaran, ternyata fakta lebih berpihak bahwa kualitas pendidikan khususnya terkait masalah SDM di Indonesia ternyata masih kalah jauh bersaing dengan negara maju seperti Inggris.
Pencapaian tujuan pembelajaran yang memiliki kecenderungan pada aspek keluasan daripada kedalaman pun tidak hanya berlaku di tingkat SD. Jenjang SMP dan SMA pun tak jauh berbeda dalam penerapannya, walaupun di SMA telah dilakukan penjurusan. Sebuah jawaban pun ditawarkan bahwa penguasaan keahlian/praktis dapat diperoleh dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Sungguh ironis sekali bila dalam perguruan tinggi yang sudah dispesialisasikan pada suatu disiplin ilmu atau bidang tertentu masih ditemukan kerancuan pelaksanaan antara pencapaian aspek kedalaman dan keluasan lingkup materi. Praktek pendidikan seperti inilah yang seharusnya digeser dengan penciptaan paradigma dan operasionalitas baru. Di era sekarang ini kita harus membuka mata bahwa aspek kedalaman lebih diutamakan daripada aspek keluasan dalam pembelajaran. Dengan konsep kedalaman dalam pembelajaran maka sesuatu hal itu mampu dicapai secara optimal dengan tingkat kompetensi dan penguasaan yang lebih baik. Pendidikan yang lebih mengutamakan pencapaian aspek keluasan telah terbukti hanya berada di ranah permukaan, hasilnya dapat ditebak hanya sebatas hafalan dan pemahaman konsep.
Penciptaan paradigma dan operasionalitas baru dengan menggeser stereotip konsep keluasan dengan konsep kedalaman dalam pembelajaran merupakan suatu langkah revolusi pendidikan di negeri ini. Kesadaran tentang konsep kedalaman dalam pembelajaran harus dtanamkan karena dengan pencapaian konsep kedalaman pembelajaran inilah maka penguasaan akan lebih optimal dan terfokus baik secara teori maupun praktik yang sangat dibutuhkan SDM kita di era persaingan dan spesialisasi seperti sekarang ini.
Suatu tantangan besar yang perlu dijawab dengan tindakan berani dan pemikiran yang berjiwa besar. Memang di HUT ke-65 RI ini, kita sudah mengalami berbagai kemajuan. Tidak diingkari bahwa bangsa ini tidak sedang di titik nol tanpa kemajuan sama sekali. Hanya pembangunan yang menjadi cita-cita proklamasi tersebut belum dapat dinikmati seutuhnya oleh semua elemen masyarakat negeri ini. Indikasinya karena belum optimalnya peran SDM kita dalam mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan yang berkelanjutan baik material maupun spiritual.
Mempelajari sejarah memang penting, tetapi menciptakan sebuah sejarah lebih penting. Semoga dengan momen peringatan HUT ke-65 RI ini, kita sebagai bagian dari (rakyat) Indonesia dapat bersatu untuk memajukan bangsa dan negara melalui pencapaian cita-cita proklamasi. Melakukan yang terbaik sesuai bidang masing-masing. Khususnya pembangunan/peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan kualitas pendidikan.
Langganan:
Postingan (Atom)